Rumah di Ujung Jalan Buntu

Di kota kecil bernama Limbara, ada satu jalan yg jarang dilewati orang: Jalan Mawar Buntu. Jalan itu tak seperti namanya. Tak ada satu pun kembang mawar di sana. Hanya deretan rumah tua yg beberapa akbar kosong & tertutup debu. Tapi di ujung jalan itu, berdiri satu rumah yg berbeda. Cat dindingnya masih utuh, jendelanya bersih, & lampu terasnya sering menyala setiap malam. Orang-orang menyebutnya “Rumah Satu”.

Tak ada yg tahu siapa pemilik rumah itu. Setiap kali ditanya, warga cuma menjawab, Rumah itu sudah ada sejak saya kecil. Tapi tak pernah kulihat siapa yg tinggal di dalamnya. Namun ada satu isu yg beredar turun-temurun: siapa pun yg mengetuk pintu rumah itu, hidupnya akan berubah selamanya.

Seorang remaja bernama Gilang mendengar cerita itu dari kakeknya. Gilang adalah anak tunggal dari keluarga sederhana. Ayahnya sudah lama meninggal, ibunya bekerja dari pagi hingga malam sebagai penjahit rumahan. Ia anak pendiam, lebih suka membaca buku di perpustakaan tua daripada bermain dengan teman-teman.

Suatu hari, Gilang mengalami kejadian aneh. Sepulang dari sekolah, ia merasa seperti diikuti. Ia menoleh, tetapi jalan kosong. Begitu hingga di rumah, ia melihat ada secarik kertas terselip di bawah pintu. Isinya cuma satu kalimat:

*”Ketuklah pintu Rumah Satu, kalau kau harap tahu siapa dirimu sebenarnya.”*

Awalnya Gilang mengabaikan. Tapi pesan itu muncul lagi esok harinya, & hari berikutnya. Ia mulai merasa seolah ada sesuatu yg menunggubukan sekadar rasa penasaran, tetapi panggilan yg tak dapat dijelaskan. Hingga malam pekan itu, ia memutuskan berjalan sendiri ke ujung Jalan Mawar Buntu.

Rumah Satu tampak tenang. Lampu teras menyala kuning hangat. Tak ada suara selain angin lembut yg menggesek dedaunan. Dengan tangan gemetar, Gilang mengetuk pintu tiga kali.

Tok… Tok… Tok.

Tak ada jawaban. Tapi pintu terbuka perlahan. Di dalam, tidak gelap. Ada lorong panjang dengan dinding kayu berukir. Lampu gantung menerangi setiap langkahnya. Ia melangkah masuk, & pintu di belakangnya menutup sendiri.

Tiba-tiba, lorong itu berubah. Kini ia berada di dalam ruangan yg penuh dengan cermin besar. Tapi anehnya, setiap cermin tidak menampilkan dirinyamelainkan versi dirinya yg berbeda-beda: Gilang sebagai guru, sebagai pelukis, sebagai penulis, bahkan sebagai orang tua yg menangis.

Satu per satu cermin itu retak & pecah, menyisakan satu cermin terakhir di ujung ruangan. Gilang menatapnya. Kali ini, bayangannya tidak asing. Itu dirinya sendiriyang sebenarnya. Wajah yg tidak lelah, tidak takut, tidak ragu. Ia melihat dirinya berdiri tegak, dengan sorot mata tajam, seperti seseorang yg tahu tujuannya.

Tiba-tiba ruangan gelap. Gilang terbangun di depan pintu Rumah Satu, seolah baru saja pingsan. Tapi ia merasa berbeda. Ada sesuatu yg berubah dalam dirinya.

Sejak malam itu, Gilang mulai menulis. Ia menuangkan semua isi pikirannya dalam buku catatan. Kisah tentang rumah itu, tentang cermin, tentang dirinya yg ia temukan di sana. Ia kirimkan tulisan-tulisannya ke majalah lokal. Tanpa diduga, tulisannya viral. Ia mulai diundang ke acara, diwawancarai, & akhirnya mendapat beasiswa ke universitas ternama sebagai penulis muda berbakat.

Tahun demi tahun berlalu, & kisah tentang Rumah Satu perlahan menghilang dari pembicaraan warga. Namun suatu malam, seorang anak lainpendiam, kesepian, penuh tanyamenerima secarik kertas di bawah pintunya:

*”Ketuklah pintu Rumah Satu, kalau kau harap tahu siapa dirimu sebenarnya.”*

—