Toko Jam Waktu

Di sudut kota tua yg hampir dilupakan, berdiri sebuah toko kecil berdebu dengan papan nama kayu tua bertuliskan: **Toko Jam Waktu Segala Waktu Bisa Dikembalikan.**

Tak banyak yg memperhatikan toko itu. Letaknya tersembunyi, diapit dua bangunan kosong & beberapa akbar penduduk menganggapnya cuma toko antik biasa yg menjual jam-jam rusak. Tapi bagi mereka yg tahu toko itu menyimpan sesuatu yg lebih akbar dari sekadar mesin pengukur waktu.

—

Alya, seorang gadis berumur 24 tahun, kehilangan ayahnya dalam kecelakaan setahun lalu. Ia masih hidup dengan perasaan bersalahkarena pada pagi hari kecelakaan itu terjadi, ia sempat bertengkar dengan ayahnya cuma karena masalah sepele: sepiring sarapan yg tak disentuh.

Satu tahun penuh ia hidup dengan penyesalan, berharap dapat kembali ke waktu itu & meminta maaf. Suatu sore yg mendung, saat ia berjalan sendirian pulang kerja, hujan turun tiba-tiba & ia mencari tempat berteduh. Ia melihat toko tua itu. Toko jam. Ia masuk.

Di dalam, jam-jam tua menggantung di setiap sudut. Denting pelan terdengar dari segala arah. Di belakang meja, duduk seorang pria tua dengan jas rapi & kacamata bundar. Wajahnya teduh, tetapi matanya menyimpan sesuatu yg dalam.

Selamat datang di Toko Jam Waktu, katanya lembut.

Alya tersenyum sopan. Toko antik ya, Pak?

Bisa dibilang begitu. Tapi di sini, kami menjual kesempatan kedua.

Alya tertawa kecil. Maksud Bapak?

Pria tua itu mengeluarkan sebuah jam saku emas dari laci. Ia menyerahkannya pada Alya.

Setiap jam saku di sini memiliki sisa waktu yg dapat dipakai untuk kembali ke masa lalu. Tapi cuma satu momen. Dan waktunya cuma lima menit.

Alya terdiam. Ia mengira pria itu sedang bercanda, tetapi ekspresinya terlalu serius untuk itu. Ia memandangi jam saku itu. Indah, berkilau, dengan ukiran burung kecil di tutupnya.

Kalau saya percaya, apa yg harus saya bayar?

Bukan uang, jawab pria itu. Tapi satu kenangan yg kau sayangi. Sebagai gantinya, kau dapat mengulang satu momen yg kau sesali.

Alya memandangi jam itu lagi. Ia tahu kenangan mana yg harus dikorbankan. Kenangan terakhirnya bersama ibunya sebelum sang ibu meninggal bertahun lalu. Tapi ia harap menebus kesalahan dengan ayahnya, walau cuma lima menit.

Aku setuju, katanya akhirnya.

Pria itu tersenyum, mengetuk meja dua kali, & jam saku terbuka dengan bunyi kecil. Cahaya menyilaukan menyelimuti Alya.

—

Ia terbangun di pagi yg sangat dikenalnya. Dapur rumahnya. Ayahnya masih hidup. Sarapan masih mengepul. Ia tahu inimomen sebelum pertengkaran itu.

Tanpa berpikir, ia berlari & memeluk ayahnya.

Ayah maaf saya sayang Ayah, katanya dengan suara bergetar.

Ayahnya terdiam, lalu tersenyum lembut & membalas pelukannya. Ayah juga sayang kamu, Nak. Selalu.

Detik berikutnya, semuanya pudar.

—

Alya terbangun di bangku taman. Di pangkuannya, jam saku itu sudah berubah jadi batu kecil. Tapi ada kedamaian di dalam dadanya. Ia sudah berkata yg tak sempat ia ucapkan.

Namun saat ia mencoba mengingat paras ibunyasuaranya, pelukannyasemuanya hilang. Ia tahu itulah harga yg dibayarnya.

Toko itu? Sudah tak ada lagi. Ia kembali ke letak yg sama pekan depannya, tetapi yg tersisa hanyalah bangunan kosong dengan jendela pecah & pintu rusak.

Namun Alya tahu, toko itu nyata.

Sejak saat itu, ia menjalani hidup berbeda. Ia menulis buku, berbicara tentang penyesalan & waktu. Tentang pentingnya memaafkan & mengucapkan sayang sebelum semuanya terlambat.

Dan di setiap akhir seminar, ia sering mengatakan kalimat yg jadi tanda:

> Jika kalian menemukan Toko Jam Waktu… jangan ragu mengetuk pintunya. Tapi ingat, waktu adalah hadiah. Bukan untuk diulang, tetapi untuk disyukuri.

—