Lelaki Penjaga Waktu
Di sudut kota yg sering diselimuti kabut, berdiri sebuah toko tua dengan papan nama yg nyaris lepas dari gantungannya. Papan itu bertuliskan “Toko Jam Arloji & Perbaikan Waktu Pak Dirga.” Meski usang, toko itu masih dikunjungi oleh beberapa orang tua yg mengingat kejayaannya dahulu. Namun, tidak banyak yg tahu bahwa toko ini menyimpan rahasia yg jauh lebih akbar daripada sekadar menjual jam tangan.
Pak Dirga adalah lelaki berumur sekitar 70-an, berambut putih rapi, berkacamata tebal, & sering memakai rompi wol. Ia diketahui sebagai satu-satunya orang di kota yg dapat memperbaiki jam antik apa pun, bahkan jam yg sudah mati selama puluhan tahun. Namun, isu yg beredar mengatakan bahwa jam-jam yg diperbaikinya tidak cuma kembali berdetak, tetapi juga membawa kembali sesuatu dari masa lalu.
Suatu malam, seorang pemuda bernama Arman datang ke toko itu. Ia membawa sebuah jam saku tua yg diwariskan dari kakeknya. Jam itu sudah rusak bertahun-tahun & berhenti tepat pukul 11:11 malam, di hari kakeknya meninggal dunia.
“Aku harap jam ini kembali berdetak, Pak,” mengatakan Arman sambil meletakkannya di meja kayu yg penuh goresan waktu.
Pak Dirga menatap jam itu lama. Lalu, tanpa berkata sepatah mengatakan pun, ia membuka kunci laci bawah, mengambil kunci perak kecil, & mulai bekerja. Tangannya yg keriput bergerak dengan sangat presisi, seolah ia bukan cuma memperbaiki jam, tetapi merangkai kembali waktu yg hilang.
Setelah satu jam, jam saku itu berdetak pelan. Tapi yg mengejutkan Arman adalah ketika ia pulang & membuka kembali jam itu di kamarnya detak jam tiba-tiba jadi cepat, lalu lambat, lalu berhenti… & dunia di sekelilingnya berubah.
Ia tidak lagi berada di kamarnya, tetapi di sebuah rumah tua yg ia kenali dari foto-foto lama. Di sana, duduklah seorang lelaki tua kakeknya yg sedang membaca koran sambil menyeruput kopi.
“Aku kembali ke masa lalu?” gumam Arman tak percaya.
Kakeknya menatapnya, lalu tersenyum. “Sudah waktunya anda tahu rahasia keluarga kita.”
Selama beberapa menit yg terasa seperti seumur hidup, Arman & kakeknya berbincang. Ia tahu bahwa keluarga mereka adalah penjaga waktu, yg menjaga supaya keseimbangan masa lalu & masa depan tidak rusak. Jam saku itu bukan sekadar pusaka, melainkan kunci menuju celah waktu yg cuma dapat dibuka oleh darah keturunan penjaga.
“Pak Dirga juga bagian dari penjaga?” tanya Arman.
Kakeknya mengangguk. “Dia guru terakhirku. Kini waktunya anda belajar.”
Setelah pertemuan itu, Arman mendapati dirinya kembali di kamarnya. Tapi kini, jam saku di tangannya berdetak dengan irama yg berbeda seakan mengingatkan bahwa waktu bukan sekadar angka, melainkan memori, keputusan, & takdir.
Arman kembali ke toko Pak Dirga keesokan harinya, tetapi toko itu sudah tidak ada. Yang tersisa hanyalah bangunan kosong dengan debu yg menumpuk, seolah tidak pernah ada kehidupan di dalamnya selama puluhan tahun.
Di ambang pintu, tergeletak sepucuk surat.
> *”Arman, kalau anda membaca ini, maka anda sudah terpilih. Waktu kini ada di tanganmu. Gunakan dengan bijak. Jangan biarkan masa lalu menghantui, & jangan biarkan masa depan membutakan. Jadilah penjaga yg adil, sebagaimana waktu semestinya.”*
>
> * Dirga*
Sejak hari itu, Arman mengembara dari satu kota ke kota lain, menolong orang-orang yg kehilangan arah karena masa lalu, & memberi mereka kesempatan memperbaiki waktu yg terlewat bukan untuk mengubah sejarah, tetapi untuk memahami arti waktu: bahwa setiap detik yg kita miliki adalah anugerah yg harus dijaga.
—
