Lelaki Penjaga Pulo Sayang
Namaku **Arafah**, & kisah ini terjadi di sebuah sudut tenang di pesisir Gorontalo, tepatnya di sebuah pulau kecil berbentuk hati yg diketahui orang sebagai **Pulo Cinta**.
Aku tumbuh akbar di desa Bajo, tempat nelayan hidup dari laut & anak-anak belajar membaca bintang. Ayahku, **La Ode Rannu**, adalah penjaga pulau yg tidak pernah meninggalkan laut. Setiap pagi ia menyapa mentari pertama, menyentuh pasir putih dengan telapak kakinya, & memastikan pulau itu bersih dari sampah & gangguan manusia.
“Bukan cuma indah yg harus dijaga,” katanya padaku ketika saya masih delapan tahun. “Tapi juga cerita-cerita yg tumbuh di sini.”
Awalnya saya tidak mengerti. Bagiku, Pulo Cinta hanyalah tempat wisata yg kadang didatangi turis kaya dengan kamera mahal. Tapi baginya, pulau itu adalah rumah kedua, tempat leluhur kami bertemu, mensayang, & meninggalkan jejak-doa mereka dalam angin laut.
—
### **Kenangan & Luka**
Ibuku meninggal saat saya masih kecil. Sejak saat itu, ayah merawatku sendiri. Ia bukan orang yg pandai bicara, tetapi ia tahu bagaimana mengajarkan sayang lewat tindakan. Kami hidup sederhanatanpa listrik penuh, tanpa sinyal stabiltapi penuh canda tawa & kisah laut.
Setiap malam Jumat, ayah membacakan kisah **Pogogul** & **Boki**, dua kekasih dari kerajaan Boalemo yg kabur ke pulau demi mempertahankan sayang mereka. Konon, bentuk hati dari pulau itu adalah lambang sayang abadi mereka. Ayah sering bilang, “Kalau anda mensayangi sesuatu dengan sungguh-sungguh, maka alam akan mengingatnya.”
Namun hidup tak sering tenang. Ketika saya berusia 17 tahun, perusahaan asing datang dengan rencana besar: membangun resort mewah di Pulo Cinta, memotong hutan bakau, & mengubah sisi pulau jadi pelabuhan.
Ayah menolak. Ia bahkan dipanggil ke kantor bupati karena dianggap menghalangi “pembangunan”. Tapi ia tetap diam, tak mau menyerahkan pulau kecil itu untuk uang.
“Kalau semua tempat suci dikomersilkan, di mana anak-anakmu akan mengenang sayang yg sederhana?” katanya tegas.
Aku melihat sorotan kecewa dari banyak orang. Bahkan tetangga kami menyindir bahwa ayahku cuma tua & keras kepala. Tapi saya tahudan laut tahubahwa ia cuma sedang menjaga sesuatu yg tak dapat dibeli.
—
### **Perubahan & Kesadaran**
Lima tahun berlalu. Aku kuliah di Kota Gorontalo, mengambil jurusan komunikasi. Tapi saya tak pernah melupakan laut, atau Pulo Cinta, atau kisah Pogogul yg ayah wariskan.
Setelah lulus, saya kembali. Ayah sudah semakin tua. Rambutnya hampir sepenuhnya putih, & jalannya mulai pelan. Tapi semangatnya tetap menyala. Aku memutuskan untuk membantunya menjaga pulau, tetapi dengan caraku.
Bermodalkan kamera bekas & laptop tua, saya menciptakan dokumenter pendek tentang Pulo Cinta: kisah sejarahnya, lingkungan yg mulai rusak, serta suara ayah yg lirih tetapi penuh sayang.
Video itu viral. Banyak orang mulai datang bukan untuk berlibur mewah, tetapi untuk **belajar & menghargai**. Mahasiswa, aktivis, bahkan turis mancanegara mulai melihat pulau itu sebagai **simbol sayang yg dijaga oleh orang-orang sederhana**.
Pemerintah akhirnya membatalkan izin pembangunan pelabuhan. Sebagai gantinya, kawasan itu dijadikan **zona edukasi konservasi laut**, & ayahkuLa Ode Rannudiangkat sebagai penjaga kehormatan pulau.
—
### **Warisan Cinta**
Ayah meninggal setahun kemudian. Ia dimakamkan menghadap laut, di bawah pohon kelapa yg ia tanam saat saya lahir. Dan setiap sore, saya berjalan menyusuri pasir pulau itu, mengenang suaranya.
Kini saya jadi penjaga baru Pulo Cinta. Bukan cuma penjaga fisik, tetapi juga **penjaga kisah**kisah sayang yg sederhana, alami, & tak lekang oleh waktu.
Di Gorontalo, orang bilang, Cinta sejati tidak cuma dikenang, tetapi diwariskan. Dan saya percaya, ayah sudah meninggalkan sayang itu untuk kujaga. Bersama pulau, bersama laut, & bersama angin yg tak pernah berhenti membisikkan namanya.
—