Kehidupan Kedua di Warung Kopi Pak Darto
Di sudut jalan kecil yg tak begitu ramai di pinggiran kota, berdiri sebuah warung kopi tua bernama *Warung Kopi Pak Darto*. Atap sengnya sudah berkarat, dinding kayunya berwarna pudar dimakan waktu, & papan namanya nyaris tak terbaca. Namun siapa pun yg pernah masuk ke sana akan tahu bahwa warung itu bukan sembarang tempat.
Pak Darto, pria tua berusia sekitar 70-an, adalah pemilik warung itu. Ia tinggal sendiri sejak istrinya meninggal lima belas tahun silam. Anak-anaknya merantau ke kota akbar & jarang pulang. Namun, bukan kesepian yg menciptakan Pak Darto tetap membuka warungnya setiap pagi jam 6 tepat. Ada alasan lain, jauh lebih dalam dari sekadar mencari nafkah.
Warung itu menyimpan rahasia.
Setiap malam Jumat, tepat pukul 11:11 malam, seseorang akan masuk ke warung itu. Bukan pelanggan biasa, bukan pula orang yg dapat dilihat oleh semua orang. Ia akan duduk di bangku paling pojok, dekat jendela bambu yg setengah terbuka. Wajahnya kabur, suaranya lirih, namun sering berkata sama:
> Aku datang untuk secangkir kopi… & jawaban.
Pak Darto tak pernah bertanya siapa dia. Ia cuma menyeduh kopi tubruk yg sangat kental, menuangkannya ke cangkir tanah liat usang, & meletakkannya di meja tamu itu. Setelah itu, ia duduk di depannya, memandangi mata kosong yg tampak seperti lubang tak berujung.
Aku harap tahu… apa penyesalan terbesarmu? tanya sosok itu setiap malam Jumat.
Pak Darto akan diam beberapa detik sebelum menjawab, & jawaban itu sering berbeda. Pernah ia berkata, Aku menyesal tak cukup waktu untuk anak-anakku. Malam lainnya ia berkata, Aku menyesal tak pernah meminta maaf pada teman masa kecilku.
Malam-malam terus berlalu. Tiap Jumat, satu penyesalan diluruhkan. Dan Pak Darto merasa semakin ringan.
Namun malam itu berbeda.
Sosok itu datang lebih awalpukul 10:59. Udara jadi lebih dharap, lampu warung meredup. Kali ini, ia tidak bertanya seperti biasa.
> Pak Darto, malam ini giliran saya bicara.
Pak Darto diam. Tangannya gemetar saat menuang kopi. Sosok itu menatap dalam, & untuk perdana kalinya, wajahnya perlahan jadi jelas. Ia adalah Bayu, putra sulung Pak Darto yg sudah dinyatakan hilang 10 tahun lalu dalam kecelakaan kapal.
Ayah… Aku tidak pernah benar-benar pergi, katanya. Aku terjebak di antara dunia karena janji kita yg tak terpenuhi.
Pak Darto mengingat janji itujanji bahwa mereka akan memancing bersama di laut saat Bayu pulang dari kerja kapal. Tapi janji itu tak pernah terjadi karena kabar duka datang lebih dulu.
Ayah harus memaafkan diri sendiri, ujar Bayu. Aku di sini setiap Jumat, menunggu saat Ayah siap untuk berdamai dengan masa lalu.
Air mata Pak Darto menetes deras. Ia menggenggam tangan yg tak dapat disentuh, menggigil dalam keheningan.
Aku minta maaf, Le… Aku minta maaf…
Angin berhembus lembut. Aroma garam laut tercium samar, & suara kapal terdengar dari kejauhanpadahal laut berada puluhan kilometer dari sana.
Bayu tersenyum, perlahan menghilang, menyisakan secangkir kopi yg masih hangat.
Esok paginya, warung Pak Darto tetap buka seperti biasa. Namun bagi siapa pun yg masuk, mereka akan melihat satu foto baru di dinding: seorang pemuda berseragam pelaut tersenyum lebar, berdiri di samping seorang pria tua yg memegang joran pancing.
Dan sejak malam itu, tak pernah ada lagi tamu di malam Jumat.
Hanya ada kopi, kenangan, & seorang pria tua yg akhirnya menemukan kedamaian.
—