Lelaki di Bawah Hujan
Langit menggantung muram di atas kota kecil yg sering tenggelam dalam kesepian setelah pukul delapan malam. Jalanan basah, lampu-lampu jalan bergetar karena guyuran hujan, & aroma tanah bercampur aspal menguar ke udara. Di ujung trotoar yg sepi, seorang lelaki tua berdiri sendiri, mengenakan jas hujan abu-abu yg sudah memudar warnanya. Di tangannya tergenggam sebuket kembang lili putih yg tampak kontras dengan malam yg gelap.
Namanya Pak Wiryo. Dulu ia adalah seorang guru Bahasa Indonesia yg dihormati di SMA negeri satu-satunya di kota itu. Rambutnya kini hampir seluruhnya putih, tubuhnya kurus, & suaranya kerap bergetar saat berbicara. Tapi matanya masih menyimpan bara yg samahangat, tajam, & penuh kerinduan.
Setiap malam Jumat, Pak Wiryo akan berdiri di tempat itu. Tepat di depan halte tua dekat Taman Berharap, menunggu sesuatuatau seseorangyang tak pernah datang.
Orang-orang menyebutnya gila. Anak-anak menirukan gaya jalannya, & remaja kerap memotretnya diam-diam untuk dipajang di media sosial dengan caption yg mencibir. Tapi Pak Wiryo tak pernah marah. Tak pernah membalas. Ia cuma tersenyum, lalu kembali menatap ke arah jalan.
Semua berawal lima belas tahun yg lalu, saat istrinya, Bu Retno, pergi ke kota untuk menghadiri reuni kuliahnya. Ia berjanji akan pulang malam itu juga, & Pak Wiryo, seperti biasa, menyiapkan makan malam kesukaan mereka: sop buntut & teh manis panas.
Tapi Bu Retno tak pernah pulang.
Mobil travel yg membawanya mengalami kecelakaan di jalan tol, tergelincir karena hujan lebat & menghantam pembatas jalan. Semua penumpangnya selamatkecuali satu. Tubuh Bu Retno ditemukan keesokan harinya dalam posisi masih memeluk buket kembang lili yg ia bawa dari pasar pagi sebelum berangkat.
Sejak malam itu, Pak Wiryo berubah. Ia tak lagi mengajar, tak lagi menghadiri pertemuan RT, tak lagi menulis puisi-puisi di majalah sekolah. Ia cuma punya satu kebiasaan yg tersisa: berdiri di halte itu dengan kembang lili di tangan, setiap malam Jumat, di jam yg sama, di musim apapun.
Ada yg bilang Pak Wiryo percaya bahwa istrinya akan kembali menemuinya di tempat itu. Ada yg menyebut ia menunggu reinkarnasi dari Bu Retno, yg akan muncul dalam wujud orang asing yg tak dikenalnya. Tapi yg lebih menyedihkan adalahtak ada yg benar-benar tahu isi hatinya.
Suatu malam, seorang gadis kecil bernama Kirana, cucu pemilik warung kopi dekat taman, memberanikan diri mendekat. Ia melihat Pak Wiryo menggigil kedharapan, & memberinya secangkir teh hangat.
“Pak, kenapa Bapak sering bawa kembang lili di sini?”
Pak Wiryo menatap Kirana dengan lembut. “Karena dia suka kembang lili. Kalau dia datang lagi & saya tidak bawa, nanti dia kecewa.”
Kirana bingung. “Siapa, Pak?”
“Istriku.”
“Oh. Tapi kan katanya beliau sudah di surga.”
Pak Wiryo tersenyum, menatap hujan yg masih turun perlahan. “Surga itu luas, Nak. Siapa tahu kadang-kadang dia turun sebentar, untuk melihat apakah saya masih menunggunya.”
Sejak malam itu, Kirana tak lagi menganggap Pak Wiryo gila. Setiap malam Jumat, ia menyusul ke halte & menemani Pak Wiryo berdiri. Terkadang mereka tidak bicara apa-apa. Hanya diam, memandangi hujan & mendengarkan kota yg perlahan tertidur.
Lima tahun kemudian, Pak Wiryo tak lagi datang ke halte.
Orang-orang bertanya-tanya, tetapi cuma Kirana yg tahu jawabannya. Di meja kecil di dalam kamar Pak Wiryo, ia menemukan surat terakhir bertuliskan tangan:
*”Kepada siapa pun yg membaca surat ini*
*Jangan tertawakan orang yg menunggu. Karena menunggu adalah bentuk sayang paling sunyi, yg cuma dapat dirasakan oleh hati yg pernah kehilangan.*
*Bunga lili terakhir ini kuberikan pada hujan.”*
—