Warung Kopi Tepi Rel

Setiap pagi, sebelum mentari sepenuhnya terbit, seorang pria tua bernama Pak Gino sudah duduk di kursi kayu tuanya, menunggu air di ceret mendidih. Warung kecilnya Warung Kopi Tepi Rel berdiri tak jauh dari rel kereta api yg membelah Desa Kertanegara. Ukurannya cuma sekitar 3×4 meter, berdinding triplek yg mulai lapuk, dengan atap seng yg berisik kalau hujan turun.

Namun meski sederhana, warung itu punya sesuatu yg tak dimiliki warung-warung lain di desa: cerita.

Orang-orang datang ke sana bukan cuma untuk menyeruput kopi hitam panas atau mencocol gorengan ke dalam sambal kacang. Mereka datang untuk bercerita. Tentang rindu. Tentang mimpi yg patah. Tentang anak yg tak pulang. Tentang sayang yg tak sempat diucapkan.

Pak Gino bukan penasihat, bukan pula orang bijak. Ia cuma mendengar. Kadang memberi satu-dua kalimat. Kadang cuma mengangguk sambil mengisi kembali cangkir tamunya.

Suatu pagi, seorang pemuda asing datang. Wajahnya lelah, matanya merah seperti kurang tidur berhari-hari. Ia membawa ransel akbar & mengenakan jaket sobek di bagian siku. Namanya Rangga.

Tanpa banyak bicara, Rangga memesan kopi & duduk menghadap rel. Mereka cuma diam beberapa menit, hingga suara kereta perdana lewat menggetarkan gelas & menciptakan dinding warung bergetar halus.

Bapak percaya takdir? tanya Rangga tiba-tiba.

Pak Gino mengangkat alis. Kadang iya. Kadang tidak. Tergantung hari.

Rangga tertawa kecil, suara yg nyaris seperti helaan napas.

Aku lari dari Jakarta, katanya. Gagal buka usaha. Uang habis. Pacar pergi. Orang tua kecewa.

Pak Gino tak langsung menjawab. Ia menuangkan kopi tambahan ke gelas Rangga.

Kereta itu, ujarnya sambil menunjuk rel, tak pernah bertanya ke mana ia pergi. Ia cuma berjalan di jalur yg tersedia. Tapi kau tahu bedanya manusia & kereta?

Rangga menggeleng.

Manusia dapat turun & ganti arah. Kereta tidak.

Rangga menatap pria tua itu, lama.

Sejak hari itu, Rangga jadi pengunjung tetap. Ia bantu bersih-bersih warung, mengantarkan kopi ke pelanggan, & memperbaiki papan-papan kayu yg sudah rapuh. Ia mulai tersenyum, mulai tertawa, & mulai bercerita bukan tentang luka, tetapi tentang cita-cita barunya: membuka kedai kopi keliling.

Bukan seperti warung kopi fancy, ya Pak, katanya suatu sore, tapi yg dekat dengan orang. Di terminal. Di pinggir sawah. Di tempat yg tidak ada sinyal.

Pak Gino cuma tersenyum sambil mengaduk kopinya. Dalam hati ia tahu: pemuda itu sedang sembuh.

Setahun berlalu.

Warung Kopi Tepi Rel kini lebih rapi. Dindingnya diganti dengan papan baru. Ada rak kecil tempat pelanggan dapat meninggalkan surat, buku puisi, atau foto lama. Di bagian pojok, ada papan tulis bertuliskan:

Hari ini anda kuat. Esok anda lebih kuat lagi. R

Dan Pak Gino? Ia masih di sana, mengisi cangkir demi cangkir. Tapi kini ia tak sendiri.

Rangga akhirnya membuka kedai kopinya. Bukan di kota, bukan di mall. Tapi di atas becak motor tua yg ia modifikasi sendiri. Ia menamainya Kopi Lintasan, & ia keliling dari desa ke desa berhenti di tempat yg jauh dari keramaian, mendengarkan cerita orang-orang, seperti yg dulu dilakukan Pak Gino padanya.

Suatu hari, ia kembali ke Warung Kopi Tepi Rel, membawa dua kantong akbar berisi biji kopi yg ia kumpulkan sendiri dari para petani lokal.

Ini untuk Bapak, katanya. Biar warung ini terus hidup. Terus jadi rumah untuk orang-orang lelah.

Pak Gino menepuk bahunya pelan.

Warung ini sudah jadi rumahmu juga, Nak.

Di kejauhan, suara kereta kembali terdengar. Kali ini, tak lagi membawa getaran semata. Tapi juga kenangan, pelajaran, & asa baru.