Warung Kopi Tengah Malam
Hujan gerimis turun sejak sore, menyisakan embun tipis di kaca-kaca jendela kota. Di ujung gang sempit, berdiri sebuah warung kecil dengan papan kayu bertuliskan *Kopi & Cerita*. Lampu kuning remang-remang menggantung di atas pintu, menebar cahaya hangat di tengah gelapnya malam.
Warung itu milik Pak Darto, lelaki paruh baya berambut abu yg diketahui murah senyum & pandai meracik kopi. Warungnya cuma buka dari jam 9 malam hingga jam 3 pagi. Warga sekitar menyebutnya *warung orang-orang gelisah*, karena pelanggannya datang dengan mata sembab, raut muram, atau gelak tawa yg terdengar memaksa.
Malam itu, sekitar pukul 12, pintu warung terbuka pelan. Seorang pemuda dengan jaket kulit lusuh masuk & langsung duduk di sudut dekat rak buku tua. Wajahnya dharap, matanya sayu, & tangan kirinya memegang buku catatan kecil.
Pak Darto menatapnya dari balik meja kopi. Malam, Mas. Kopi biasa atau kopi cerita?
Pemuda itu mendongak, agak terkejut. Kopi cerita?
Pak Darto tertawa kecil. Kopi cerita itu kopi yg dibuat kalau Mas mau cerita. Ceritanya yg nentuin rasa kopinya.
Pemuda itu diam sejenak, lalu menyodorkan buku catatannya. Kalau saya kasih cerita ini, kopinya dapat pahit tetapi hangat?
Pak Darto menerima buku itu, membuka halaman pertama, & membaca pelan-pelan. Tentang kehilangan ibu, tentang rindu yg membusuk, tentang perasaan yg tidak dapat dibagi kepada siapa pun. Ia menutup buku itu perlahan.
Kopi pahit hangat, satu, katanya sambil mulai meracik.
Sementara pemuda itu menatap keluar jendela, dua pelanggan lain masuk. Seorang perempuan muda dengan bekas eyeliner yg luntur, & seorang bapak dengan map cokelat penuh surat pengunduran diri. Semua memilih duduk berjauhan. Sunyi. Hanya suara gemericik hujan & dentingan sendok dari dapur kecil Pak Darto.
Di tempat ini, mengatakan Pak Darto pelan, sambil menyajikan kopi, semua orang boleh diam. Tapi kalau mau bicara, tak akan ada yg menertawakan.
Pemuda itu menyeruput kopinya. Pahit, hangat, & anehnya sedikit manis di akhir. Ia menatap Pak Darto & berkata pelan, Rasa ibuku suka bikin kopi seperti ini.
Pak Darto cuma tersenyum. Cerita Mas itu masuk ke dalam kopi.
Dan sejak malam itu, pemuda itu datang hampir setiap malam. Kadang membawa cerita baru, kadang cuma duduk diam sambil mendengarkan hujan. Warung Kopi & Cerita terus hidup, jadi tempat persinggahan bagi mereka yg tak tahu harus pulang ke mana dulu, atau sedang kehilangan arah.
Sebab, di kota yg serba cepat ini, tempat paling berharga bukan yg terang & ramai, tetapi yg mengerti diam & menyimpan luka.
—