Tiga Warna Langit Senja
Di sebuah desa kecil bernama Tirta Sari, hiduplah seorang pemuda bernama Raka. Sehari-hari ia bekerja sebagai buruh tani, menolong ibunya menanam padi & memelihara kebun kecil peninggalan almarhum ayahnya. Hidup mereka sederhana, namun penuh kehangatan.
Raka adalah pemuda pendiam, tetapi pikirannya tajam. Di waktu senggang, ia membaca buku-buku tua yg ia pinjam dari perpustakaan desa. Diam-diam ia bercita-cita jadi guru, karena baginya pendidikan adalah kunci untuk mengubah nasib.
Namun, impian itu terasa jauh. Setelah lulus SMA, ia tak punya biaya untuk melanjutkan kuliah. Ibunya berkata, Raka, ibu tahu anda harap lebih. Tapi hidup kita seperti sawah di musim kemaraubertahan adalah kemenangan.
Setiap sore, selepas bekerja, Raka duduk di atas batu akbar di pinggir sawah, memandangi langit senja. Langit itu punya tiga warna: jingga, merah, & ungu. Ia menyebutnya tiga warna harapan. Jingga adalah semangat, merah adalah keberanian, & ungu adalah ketenangan. Di sanalah ia sering merenung.
Suatu hari, seorang pria datang ke desa. Namanya Pak Bram, mantan wartawan yg kini jadi relawan pendidikan. Ia mendirikan kelas gratis bagi anak-anak desa yg tidak mampu. Raka pun tertarik & mulai menolong mengajar.
Bakatmu besar, Raka, mengatakan Pak Bram suatu hari. Mengajar bukan soal gelar, tetapi soal hati.
Kata-kata itu membakar semangat Raka. Ia mulai serius belajar lagi, mengikuti program daring gratis setiap malam dengan ponsel tuanya yg layarnya retak. Ia menghemat uang jajan supaya dapat membeli paket data. Bahkan ketika listrik mati, ia menyalakan lilin & terus membaca.
Suatu malam, ibunya melihat Raka tertidur di atas buku.
Kenapa anda begitu keras pada dirimu, Nak? tanya ibunya sambil menyelimuti.
Karena saya harap ibu istirahat. Aku harap mengganti cangkul ibu dengan pena, jawab Raka lirih, setengah sadar.
Dua tahun berlalu. Berkat bimbingan Pak Bram & kerja kerasnya, Raka mendapatkan beasiswa ke universitas di kota. Ia berangkat dengan cuma satu tas & banyak harapan.
Waktu berjalan cepat. Empat tahun kemudian, Raka kembali ke desa. Kini ia seorang sarjana pendidikan. Tapi bukan itu yg menciptakan warga desa banggamelainkan karena ia kembali, bukan untuk mencari kerja di kota, tetapi untuk membangun sekolah di kampung halamannya.
Sekolah itu berdiri di tanah kosong di dekat sawah, tempat dulu ia biasa duduk menatap senja. Di papan namanya tertulis: Sekolah Tiga Warna, sebagai penghormatan kepada langit senja yg pernah jadi saksi bisu cita-cita seorang pemuda desa.
Dan setiap sore, ketika langit kembali menari dengan tiga warnanya, anak-anak kecil di desa itu belajar dengan semangat, keberanian, & ketenangantiga warna yg dulu hidup dalam hati seorang anak petani bernama Raka.