Teater Ekonomi: Tiga Uang yg Tidak Pernah Setali
Singapura memulai perjalanannya pada 1967, mengganti Dolar Malaya dengan mata uang yg namanya langsung memanggil wibawa: Dolar Singapura. Nilai awalnya setara1 USD=3,06 SGD. Dalam enam dekade, ia merangkak naik hingga cuma dibutuhkan 1,28 SGDuntuk mendapatkan1 USD. Secara teknis, ini adalah penguatan sekitar2,4kali lipat. Secara politis, ini adalah bukti bahwa disiplin fiskal, manajemen birokrasi yg steril dari melodrama, & citra internasional yg konsisten dapat menghasilkan mata uang yg tidak cuma stabil, tetapi juga dihormati. Singapura seperti mahasiswa teladan yg sering hadir kuliah, mengumpulkan tugas tepat waktu, & lulus cum laudebukan karena pintar saja, tetapi karena tahu aturan main & mematuhinya hingga titik koma.
Malaysia memulai kisahnya di tahun yg sama. Ringgit Malaysia lahir dengan nilai identik:1 USD=3,06 MYR. Perjalanannya relatif jinak dibanding banyak negara berkembang lain, meski tetap melemah jadi 4,57 MYRper USD di 2024sekitar1,49kali lipat pelemahan. Ia ibarat pegawai negeri yg awalnya rajin & bersemangat, tetapi perlahan terjebak dalam birokrasi yg menciptakannya lamban. Ringgit tidak ambruk, namun juga tidak bersinar. Ia mempertahankan harga diri, tetapi kehilangan beberapa daya beli. Sebuah kompromi yg aman, namun membosankan: cukup stabil untuk bertahan, tetapi tidak cukup mengesankan untuk diceritakan dalam seminar keuangan internasional.
Indonesia, dengan Rupiah-nya, memilih jalur narasi yg lebih dramatisbahkan tragis. Pada 1950, 1 USD cuma setara 3,80 rupiahlama. Kini, satu dolar Amerika menuntut 16.450 rupiahbaru. Jika dihitung mentah-mentah, ini berarti pelemahan sekitar4.328(empatribu tiga ratus dua puluh delapan)kali lipat. Namun angka ini hanyalah ilusi statistik, karena di tengah perjalanan adasanering1965sebuah operasi keuangan yg memotong nilai mata uang1.000:1. Rakyat disuruh percaya bahwa ini adalah penyederhanaan, padahal pada praktiknya, seratus ribu rupiah lama di rekening berubah jadi seratus rupiah baru, dengan daya beli yg ikut terpotong.
Bila tiga nol yg dihilangkan sanering dikembalikan ke perhitungan, pelemahan rupiah sejak 1950 mencapai4.328.000(empat juta tiga ratus dua puluhdelapan ribu) kali lipatangka yg menciptakan inflasi tahunan Singapura tampak seperti salah ketik.Saneringberperan seperti editor nakal yg memotong bab terburuk dari novel, sehingga pembaca mengira ceritanya tidak sekelam itu, padahal naskah aslinya jauh lebih suram.
Pasca-sanering, Rupiah seperti kehilangan rasa percaya diri. Ia terus menambah nol di belakang nominalnya, seakan berpikir bahwa panjang angka dapat menutupi ringkihnya nilai. Krisis moneter 19971998 jadi babak klimaks sementara, di mana kurs meloncat seperti kuda lepas kandang. Rencana redenominasi sempat diusulkan, namun seperti kebiasaan buruk, ia sering kembali ditunda.
Dalam teater ekonomi ini, Singapura berdiri sebagai monumen disiplin fiskal, Malaysia sebagai perwujudan kehati-hatian pragmatis, & Indonesia sebagai novel panjang penuh plot twist:sanering, inflasi, krisis, & kebijakan moneter yg sering terdengar seperti eksperimen laboratorium dengan rakyat sebagai kelinci uji. Ketiganya berbagi kawasan, sejarah, & cuaca, tetapi memilih koreografi yg berbeda di pentas global. Hasilnya? Satu mata uang menguat, satu melemah perlahan, & satu lagi jadi unit nominal yg lebih cocok untuk kuis Tebak Harga daripada neraca perdagangan.
Sejarah akan terus berjalan, kurs akan terus berubah, & para ekonom akan terus berdebat. Namun untuk saat ini, tiga mata uang ini mengajarkan satu hal sederhana: geografi dapat serupa, tetapi nasibapalagi nilai tukarditentukan oleh disiplin & kebijakan.