Selamatkan NKRI : Aceh & Papua Dapat Saja Berpisah Dari NKRi
Empat pulau di Aceh mendadak hilang dari pelukan. Bukan karena tsunami, bukan karena gempa, tetapi karena selembar surat keputusan bernomor steril: 300.2.2-2138 Tahun 2025. Lipan, Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil dicabut dari bukti diri Aceh, dipindahkan ke provinsi tetangga. Alasan? Karena lebih dekat secara geografis. Seolah tanah dapat diukur cuma dengan penggaris di meja birokrasi. Seolah darah, adat, & sejarah dapat diabaikan oleh jarak.
Di sisi lain, Raja Ampat permata biru di timur terus dikoyak. Izin empat perusahaan tambang nikel dicabut, katanya demi menjaga ekosistem. Tapi satu tetap bertahan: PT Gag Nikel, anak usaha perusahaan negara. Alasan klasik: “Masih dalam koridor hukum.” Hukum siapa? Hukum yg menyisakan celah bagi modal, tetapi menutup telinga kepada pekik masyarakat adat.

Geopark Raja Ampat semestinya jadi warisan. Tapi hari ini, geopark itu jadi ladang tarik-ulur izin tambang. Pari manta, hiu karang, & terumbu berumur ribuan tahun bukan prioritas cuma latar belakang bagi agenda investasi yg dikemas dengan istilah pembangunan.
Negara ini sedang sakit.
Bukan oleh serangan luar, tetapi oleh keputusan yg dilahirkan dari ruang sunyi yg jauh dari denyut nadi rakyat.
Ketika pulau dapat dicabut tanpa musyawarah, ketika tambang dapat masuk tanpa restu adat, ketika tanah jadi objek dagang, maka persatuan jadi rapuh.
NKRI dalam bahaya.
Bukan karena bom. Bukan karena ide merdeka. Tapi karena keadilan tidak dibagi rata.
Aceh menahan amarah. Luka lama tentang perjanjian yg diingkari & martabat yg dilukai masih hidup. Hari ini pulau diambil, besok siapa tahu: suara mereka ikut hilang dari rapat kebangsaan.
Papua diam, tetapi tanahnya menjerit. Mereka pernah bertanya: mengapa mereka sering jadi tambang tetapi jarang jadi tuan? Raja Ampat hanyalah satu halaman dari buku panjang eksploitasi yg dibalut narasi pembangunan.
Persatuan tidak lahir dari paksaan.
Ia tumbuh dari kepercayaan bahwa setiap daerah diperlakukan adil.
Bahwa suara mereka dihitung, bahwa kekayaan mereka tidak dikeruk tanpa izin.
Begitu kepercayaan hilang, maka satu per satu, fondasi negeri ini akan retak. Retak dari pulau ke pulau. Dari Sabang hingga Merauke
Jika pulau dapat digeser, kalau tanah dapat dikapling oleh segelintir pena, maka jangan heran bila rakyat harap mengambil kembali haknya entah lewat jalan politik, entah lewat perlawanan. Bukan karena mereka benci persatuan, tetapi karena mereka rindu keadilan.
NKRI tidak akan bertahan oleh slogan. Tapi akan tumbang kalau terus menjadikan rakyatnya sekadar penonton dalam drama tanah & kekayaan.
Hari ini Aceh diam-diam terluka. Raja Ampat terengah-engah.
Besok, bukan tak mungkin keduanya melangkah keluar dari barisan.
Dan saat itu terjadi semua akan bertanya: mengapa mereka pergi?
Jawabannya sederhana: karena tak seorang pun mau tinggal di rumah yg terus-menerus merampas milik sendiri.
Selamatkan NKRI