Sebelum Aku Pergi
Hening. Rumah itu terasa sunyi meski jam dinding terus berdetak. Di kamar sempit bercat putih pucat, seorang lelaki tua terbaring di ranjang, tubuhnya kurus, napasnya berat & pendek-pendek. Namanya Pak Wiryo, usianya hampir 80 tahun, & menurut dokter, hari-harinya tinggal menghitung jari.
Di samping ranjang, duduk seorang perempuan muda. Wajahnya pucat, matanya sembab. Namanya Rina, cucu satu-satunya Pak Wiryo. Sejak kecil, ia dibesarkan oleh sang kakek setelah kedua orang tuanya meninggal dalam kecelakaan saat ia berusia lima tahun. Pak Wiryo-lah yg menemaninya belajar, mengantar sekolah, bahkan menjahitkan seragam ketika ia SMP karena tak sanggup membeli yg baru.
Kamu masih di situ, Rin? suara Pak Wiryo lirih, seperti desir angin yg nyaris tak terdengar.
Rina mengangguk sambil menggenggam tangan keriput kakeknya, Iya, Kek. Aku di sini.
Pak Wiryo tersenyum lemah. Kalau saya pergi anda jangan sedih, ya.
Air mata Rina mengalir tanpa dapat ditahan. Kakek jangan bicara begitu.
Manusia memang diciptakan untuk datang & pergi. Tapi yg tinggal adalah kenangan.
Hening sejenak.
Di laci bawah meja itu, lanjut Pak Wiryo, ada sesuatu untukmu. Buka setelah saya benar-benar pergi. Janji?
Rina mengangguk, meski hatinya menolak kenyataan yg sedang ia hadapi. Kakeknya adalah satu-satunya keluarga yg ia punya. Kehilangan beliau terasa seperti mencabut akar yg selama ini jadi penopang hidupnya.
—
Tiga hari kemudian, langit mendung menyelimuti pemakaman kecil di pinggir kota. Tanah masih basah saat Rina meletakkan kembang kamboja di atas pusara bertuliskan:
**Wiryo Pranoto 19452025**
*”Hidup bukan tentang berapa lama, tetapi tentang seberapa dalam.”*
Ia berdiri lama di sana, menatap nama yg terukir, seakan menunggu suara itu memanggilnya kembali. Tapi yg terdengar cuma desir angin & suara dedaunan gugur.
Malamnya, dengan tangan gemetar, Rina membuka laci yg dimaksud sang kakek. Di dalamnya ada amplop cokelat berisi secarik surat & sebuah kunci kecil.
—
**Untuk Rina, cucuku tersayang.**
Jika anda membaca ini, berarti saya sudah tiada. Jangan bersedih, karena hidup memang harus terus berjalan. Aku cuma harap anda tahu satu hal: anda tidak pernah sendiri.
Kunci itu untuk laci meja lama di gudang. Di sana, saya simpan semua surat dari ibumuibu yg sangat mensayangimu & sering menuliskan surat untukmu sebelum ia meninggal. Tapi waktu itu anda masih terlalu kecil untuk mengerti kesedihan.
Sekarang bacalah. Dan lanjutkan hidupmu.
Dengan sayang,
Kakek.
—
Rina terisak, menggenggam surat itu seperti harta paling berharga. Ia bergegas ke gudang & membuka laci berdebu. Puluhan amplop putih tersusun rapi, semua bertuliskan namanya dalam tulisan halus milik sang ibu.
Di antara air mata, ia membaca satu per satu, malam itu ia tidak sendiri. Ia dikelilingi oleh sayang dari masa laludari orang-orang yg sudah pergi, tetapi meninggalkan jejak yg tak akan pernah hilang.
Dan di tengah kepergian, ia menemukan alasan untuk terus bertahan.
—