Saronde: Sayang dari Ujung Pantai

Langit Gorontalo memerah saat mentari mulai tenggelam di ufuk barat. Debur ombak Pelabuhan Kwandang terdengar lembut, seperti alunan musik pengantar malam. Di kejauhan, Pulau Saronde tampak seperti bayangan tenang yg menyimpan banyak rahasia.

Di tepi dermaga, seorang pemuda bernama Fadel duduk bersandar di bahtera kayu miliknya. Kulitnya legam terbakar matahari, matanya tajam menatap laut lepas. Ia adalah anak seorang nelayan yg sejak kecil terbiasa hidup dengan angin laut & suara camar.

Namun Fadel bukan sekadar nelayan biasa. Ia menyimpan impian besar: mengangkat kembali kejayaan wisata laut Gorontalo, khususnya Pulau Saronde yg kini mulai dilupakan.

Setiap malam, Fadel menulis ide-ide dalam buku catatannyatentang penginapan ramah lingkungan, festival budaya Saronde, hingga program belajar selam bagi anak-anak desa. Tapi ia sadar, ide sebesar itu butuh lebih dari sekadar tekadia butuh dukungan, & mungkin, keajaiban.

—

Suatu pagi, saat Fadel membersihkan perahunya, seorang perempuan asing datang menghampiri. Ia mengenakan topi jerami lebar, kaca mata hitam, & membawa ransel besar. Namanya Riani, mahasiswi antropologi dari Yogyakarta yg sedang meneliti budaya pesisir Gorontalo.

“Maaf, Kak… dapat antar saya ke Saronde?” tanyanya dengan logat Jawa halus.

Fadel mengangguk, & tanpa banyak bicara, mereka pun berangkat. Laut tenang, & sepanjang perjalanan Riani banyak bertanya: tentang upacara adat, makanan khas seperti bilenthango, hingga kisah rakyat Hulontalangi.

Di Saronde, Riani takjub. Pasirnya seputih tepung, airnya sebening kristal, & hutan kecil di tengah pulau menyimpan suara burung-burung endemik. Tapi yg menciptakannya betah bukan cuma alamnyamelainkan cara Fadel berbicara penuh sayang tentang tempat itu.

“Apa yg anda harapkan dari pulau ini?” tanya Riani suatu sore.

Fadel menatap cakrawala. “Agar anak-anak nanti tahu, bahwa tanah mereka ini kaya, indah, & dapat dibanggakan. Aku harap Saronde jadi lambang harapan.”

—

Hari berganti minggu. Kedekatan Fadel & Riani tumbuh. Bersama, mereka menciptakan dokumentasi tentang cerita rakyat Gorontalo. Mereka mewawancarai tetua kampung, memotret nelayan yg sedang menganyam jala, bahkan menyaksikan tarian Saronde yg dibawakan saat malam bulan penuh.

Namun, hari kepergian Riani tiba. Ia harus kembali ke Yogyakarta.

“Aku akan kembali,” katanya di dermaga. “Tapi kali ini, bukan sebagai peneliti. Aku akan bawa teman-teman, sponsor, & pengakuan.”

Fadel cuma mengangguk, menahan gelombang di dadanya. Ia tahu, sayang sejati tidak sering tinggal di satu tempat, tetapi sering tahu jalan untuk kembali.

—

Enam bulan kemudian, dermaga Kwandang tak pernah seramai ini. Puluhan orang datang dari berbagai kota: mahasiswa, vlogger, wartawan, bahkan perwakilan kementerian pariwisata. Semua harap melihat keajaiban tersembunyi yg disebut Riani dalam vlog-nya yg viral: **Saronde, Surga yg Terlupakan.**

Fadel berdiri di tepi pantai, mengenakan baju adat berwarna biru tua. Di sampingnya, Riani tersenyum, kini bukan lagi sebagai tamu, tetapi bagian dari perjuangan.

Malam itu, festival Saronde perdana dibuka. Ada tarian, musik karambangan, pameran kerajinan tangan, & pembacaan puisi berbahasa Gorontalo. Tapi bagian yg paling menyentuh hati semua orang adalah saat Fadel naik ke atas pentas & berkata:

“Pulau ini bukan cuma tempat tinggal. Ini adalah cerita. Cerita tentang tanah, laut, & manusia yg percaya bahwa keindahan tak harus dicari jauh-jauh. Kadang, cukup dengan mendengarkan angin, & percaya pada mimpi.”

Tepuk tangan bergemuruh. Di atas langit Saronde, kembang api meledak, menyala seperti asa yg akhirnya menyentuh bintang.

—