Sang Penjaga Warung

Di sebuah gang sempit di pinggiran kota Jakarta, berdirilah sebuah warung kecil bernama Warung Bu Endah. Tidak ada yg istimewa dari warung itu kalau dilihat dari luaratap seng tua, etalase kaca dengan kerupuk yg sudah melempem, serta kursi kayu yg warnanya mulai pudar. Tapi bagi warga sekitar, warung itu adalah pusat kehidupan kecil yg menyimpan begitu banyak kisah.

Warung itu dijaga oleh seorang pria berusia sekitar 30-an bernama Ardi. Ia bukan anak Bu Endah, melainkan keponakan jauh yg datang dari kampung setelah ibunya meninggal & ayahnya menghilang entah ke mana. Bu Endah, yg tidak punya anak, menerima Ardi dengan tangan terbuka. Sejak itu, Ardi menolong menjaga warung, melayani pelanggan, mencatat utang warga, & kadang-kadang jadi pendengar loyal curhatan ibu-ibu yg mampir belanja.

Ardi diketahui sebagai sosok yg ramah, sabar, & sering murah senyum. Ia hafal nama hampir semua orang di gang itu, bahkan tahu siapa saja yg suka nyicil mie instan atau yg sering beli rokok satu batang karena belum gajian. Tapi di balik senyum itu, Ardi menyimpan beban berat.

Setiap malam, ketika warung tutup & Bu Endah sudah tidur, Ardi duduk di lantai kamar sempitnya, memandangi ponsel tuanya yg layar retaknya belum diganti. Ia membuka pesan-pesan lama dari ibunya, satu-satunya orang yg sering percaya padanya. Ia rindu, tetapi tak pernah menunjukkan. Di mata orang lain, Ardi hanyalah penjaga warung tetapi di dalam dirinya, ia sedang mencari jati diri & tempat di dunia ini.

Suatu hari, datanglah seorang gadis muda bernama Lani ke warung itu. Ia adalah mahasiswa baru yg ngekos di ujung gang. Lani sering mampir beli kopi sachet & mie gelas. Lambat laun, ia mulai memperhatikan Ardi yg sering tampak tenang, bahkan saat ibu-ibu marah karena utangnya dicatat lebih.

Mas Ardi ini nggak pernah marah ya? tanya Lani suatu sore.

Ardi cuma tersenyum. Kalau marah, nanti roti tawar dapat ngambek nggak laku.

Lani tertawa, & sejak itu mereka sering mengobrol. Obrolan ringan berubah jadi percakapan mendalam. Lani tahu bahwa Ardi suka menulis puisi, bahwa ia pernah bermimpi jadi guru, bahwa ia berhenti sekolah karena harus merawat ibunya yg sakit.

Kamu dapat jadi apapun, Mas, ujar Lani suatu hari. Jangan merasa kecil karena anda jaga warung.

Kalimat itu menghantam Ardi seperti petir. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu fokus pada masa lalu, pada kehilangan, hingga lupa bahwa ia masih dapat punya masa depan.

Dengan dorongan Lani, Ardi mulai menulis lagi. Ia mengirim puisinya ke blog, bahkan sekali waktu ke lomba menulis kecil-kecilan. Salah satu puisinya yg berjudul Senja di Balik Etalase masuk lima akbar lomba puisi nasional. Warung kecil itu mendadak ramai karena nama Ardi muncul di media lokal.

Namun tak semua senang. Beberapa orang mulai meremehkan.

Ah, cuma puisi tetep aja dia tukang jaga warung, mengatakan salah satu tetangga.

Tapi Ardi tidak peduli. Ia kini punya tujuan. Ia menabung, membeli laptop bekas, & ikut kursus daring menulis fiksi. Ia juga mengajari anak-anak gang menulis & membaca di warung setiap Minggu pagi, memberi nama kegiatan itu Warung Kata.

Bu Endah, yg mulai sakit-sakitan, menatap Ardi dengan bangga. Warung ini dulu cuma jual kebutuhan harian. Tapi sekarang, anda menjadikannya tempat harapan.

Beberapa tahun kemudian, Ardi menerbitkan kumpulan cerpen berjudul **Lelaki Penjaga Warung**. Buku itu sederhana, tetapi isinya menyentuh banyak hati. Ia diundang berbicara di komunitas literasi & mulai diketahui sebagai penulis dari gang sempit.

Tapi Ardi tetap menjaga warung. Ia bilang, Tempat ini bukan cuma tempat jualan tetapi tempat saya menemukan diri saya sendiri.

—