Rumah Tua di Ujung Desa
Di sebuah desa terpencil yg dikelilingi hutan lebat & sawah menghampar, terdapat sebuah rumah tua yg diketahui oleh warga dengan sebutan “Rumah Sati”. Tak ada yg tahu pasti siapa pemilik asli rumah itu. Yang jelas, rumah itu sudah berdiri lebih dari 70 tahun, terbuat dari kayu jati yg kini sudah menghitam dimakan usia, dengan atap genteng yg beberapa akbar sudah runtuh.
Warga desa percaya bahwa rumah itu berhantu. Anak-anak dilarang bermain di dekatnya, & orang dewasa cuma berani melewatinya pada siang hari. Menurut cerita turun-temurun, dulu pernah ada seorang wanita muda bernama Sati yg tinggal di rumah itu sendirian setelah suaminya tewas dalam kecelakaan perahu. Sejak saat itu, Sati jadi pendiam, sering terlihat duduk di beranda rumah menatap ke arah hutan.
Suatu malam, api akbar melalap beberapa rumah itu. Tak ada yg tahu bagaimana kebakaran itu terjadi. Yang jelas, setelah malam itu, Sati menghilang. Tak pernah ditemukan jasadnya. Sejak saat itu, banyak yg mengaku melihat sosok perempuan berbaju putih berdiri di jendela rumah tersebut pada malam hari.
Tahun demi tahun berlalu. Desa itu mulai berkembang, listrik masuk, jalan diaspal, tetapi rumah tua itu tetap dibiarkan kosong. Hingga pada suatu hari, seorang pemuda bernama Tio datang ke desa tersebut. Ia adalah mahasiswa jurusan arsitektur yg sedang mencari inspirasi untuk proyek tugas akhirnya. Ia mendengar kisah rumah Sati dari seorang warga tua, & justru merasa tertarik. Baginya, rumah tua itu memiliki daya tarik estetik & nilai sejarah yg tinggi.
Dengan izin kepala desa, Tio mulai membersihkan halaman rumah. Ia membuka paksa pintu yg sudah dipenuhi sarang laba-laba & debu tebal. Di dalamnya, ia menemukan perabotan kayu tua, beberapa bingkai foto yg buram, serta sebuah buku harian lusuh di laci meja ruang tengah.
Buku itu milik Sati.
Dalam buku harian itu, Tio membaca banyak hal yg mengejutkan. Ternyata, suami Sati tidak benar-benar tewas karena kecelakaan. Ia dibunuh oleh salah satu warga desa yg mensayangi Sati secara diam-diam. Sati mengetahui kebenaran itu bertahun-tahun kemudian, & semenjak itu ia menyusun rencana balas dendam. Malam sebelum rumah terbakar, Sati menulis kalimat terakhir di buku harian itu:
“Jika tak ada keadilan di dunia ini, maka biarkan saya menjaganya dari balik kematian.”
Malam perdana Tio tidur di rumah itu, ia merasa suhu udara sangat dharap, jauh berbeda dari siang hari. Ia bermimpi berjumpa seorang wanita muda berpakaian putih yg terus menatapnya dari jauh. Wanita itu tak mengatakan sepatah mengatakan pun, cuma menunjuk ke arah sumur tua di belakang rumah.
Keesokan paginya, Tio memutuskan untuk mengecek sumur itu. Dengan bantuan warga, ia menurunkan ember ke dasar sumur, & sesuatu yg berat terasa menarik tali. Setelah beberapa kali percobaan, mereka akhirnya berhasil mengangkat sebuah kotak besi berkarat. Di dalamnya, terdapat sebilah pisau tua, kain berlumur darah, & kalung milik suami Satibarang bukti pembunuhan yg selama ini tersembunyi.
Tio membawa temuan itu ke kepala desa. Warga gempar. Seorang kakek tua yg tinggal di desa itu akhirnya mengaku bahwa ia mengetahui kejadian pembunuhan itu, tetapi memilih bungkam karena pelakunya adalah saudaranya sendiri yg sudah lama meninggal.
Berita itu menyebar hingga ke media lokal. Rumah Sati kini jadi situs sejarah. Warga tidak lagi takut untuk mendekatinya. Tio menyelesaikan proyek tugas akhirnya dengan menulis judul:
“Rumah yg Menyimpan Dendam, tetapi Mencari Keadilan.”
Setelah tugas akhirnya selesai & Tio kembali ke kotanya, ia mengirim surat ke kepala desa:
“Terima kasih karena sudah membiarkan saya masuk ke dunia yg begitu kelam namun penuh pelajaran. Kini saya percaya, tidak semua yg disebut hantu adalah roh jahat. Kadang mereka cuma harap didengar & dikenang.”
Sejak saat itu, setiap malam Jumat Kliwon, beberapa warga mengaku melihat sosok wanita berbaju putih berjalan pelan dari sumur ke beranda rumah, lalu menghilang di balik pintu. Namun kali ini, tak ada rasa takut. Hanya rasa hormat.
Dan rumah itu pun, perlahan, tak lagi disebut rumah berhantu.