Rumah-Rumah yg Berjalan
Fenomena banyaknya rumah kosong, rumah terbengkalai, bahkan dijual karena faktor ekonomi, migrasi, atau urbanisasi di Indonesiaberhadapan kontras dengan kenyataan pahit di Palestina, di mana rumah bukan saja sulit dibangun, tetapi juga dihancurkan secara sistematis oleh kekuatan politik, militer, & sejarah konflik.
Ini dapat di lihat sebagai gejala dari dua hal besar:
1. Ketimpangan global & lokal
Di Indonesia, rumah kosong terjadi karena spekulasi properti, distribusi tanah yg tidak merata, hingga urban planning yg kurang berpihak pada rakyat kecil. Sementara di Palestina, problemnya adalah hak asasi: hak untuk hidup, untuk tinggal, untuk menetapyang direbut paksa.
Di sini, rumah jadi simbol ketidakadilan: ada yg membangun tanpa batas, ada yg bahkan tak diizinkan membangun pondasi.
2. Keterputusan antara rumah sebagai tempat hidup & rumah sebagai komoditas
Di sistem kapitalisme global, rumah diperlakukan seperti barang dagangan: dapat ditimbun, dibeli sebagai investasi, dibiarkan kosong. Ironisnya, ini terjadi di tengah realitas banyak orang tak sanggup membeli atau membangun rumah. Di Palestina, keterputusan ini lebih tragis: rumah bukan lagi soal ekonomi, tetapi soal hak eksistensial.
fenomena ini sebagai tanda bahwa dunia hari ini sedang krisis dalam memahami makna “bertempat tinggal” sebagai hak dasar manusia. Rumah bukan lagi tempat pulangia jadi alat politik, instrumen pasar, bahkan alat penindasan.
Akhirnya, pertanyaan akbar muncul:
Siapa yg berhak atas rumah? Apakah rumah milik siapa yg kuat secara ekonomi & politik, atau hak asasi semua manusia?
Bagi kita, rumah seringkali dianggap sebagai tempat pulang yg tetap. Namun, realitasnya memperlihatkan paras yg paradoks. Di Indonesia, pemandangan rumah-rumah kosong yg terbengkalai atau dijual bukanlah hal asing. Mereka berdiri bisu, ditinggalkan karena alasan ekonomi, perpindahan, atau ketidaksesuaian impi dengan kenyataan. Sementara itu, di sudut lain negeri yg sama, impian memiliki atap sendiri masih jadi perjuangan berat bagi banyak keluarga yg terbentur mahalnya material & sempitnya lahan. Ironi ini bukan cuma milik Indonesia. Di Jepang, jutaan *akiya* (rumah kosong) dijual semurah Rp15.000, namun biaya renovasinya yg mencapai miliaran rupiah justru menciptakannya tak terjangkau bagi yg membutuhkan.
Namun, dalam skala penderitaan yg paling tragis, fenomena kehilangan rumah mencapai puncaknya di Gaza. Di sana, rumah bukan sekadar ditinggalkan, tetapi sengaja dihancurkan sebagai bagian dari mesin perang. Lebih dari 59.000 ton bom sudah menghujani wilayah itu, mengubah 70% permukiman jadi reruntuhan. Angka-angka ini bukan sekadar statistik; ia mewakili kehidupan yg tercerabut. Rawya Tamboura, salah satu warga, terpaksa bertahan di satu-satunya kamar yg tersisa dari rumahnya, tanpa listrik atau air bersih, mengakui bahwa otaknya “berhenti merencanakan masa depan.” Khader Junaid, pengungsi berkali-kali, jadi simbol hilangnya kemampuan manusia untuk “berakar” ketika dipaksa terus berpindah. Rekonstruksi? Diperkirakan membutuhkan Rp865 triliun & 15 tahun cuma untuk membersihkan 50 juta ton puing sebuah tugas titanik di tengah blokade yg bahkan menciptakan harga pangan melonjak 450%.
Fenomena ini mengaburkan makna esensial rumah. Dalam banyak budaya tradisional Nusantara, rumah adalah perwujudan jati diri kolektif & harmoni. Rumah Gadang Minangkabau dengan gonjongnya yg menjulang mencerminkan keseimbangan alam & manusia, sementara Rumah Panjang Radakng suku Dayak sanggup menampung ratusan keluarga, menegaskan nilai kebersamaan. Filosofi ini bertolak belakang dengan realitas modern di Gaza, di mana rumah dijadikan target penghancuran sistematis, atau di tempat lain, direduksi jadi sekadar komoditas investasi yg spekulatif. Pergeseran ini mengikis hubungan sakral antara manusia & ruang tinggalnya.
Akar masalahnya bersifat sistemik. Di Gaza, kebijakan blokade membatasi bahkan material bangunan paling dasar, sementara di Indonesia & Jepang, regulasi seringkali gagal menjembatani kesenjangan antara kepemilikan yg menganggur & kebutuhan mendesak. Ekonomi eksploitatif memperparah situasi, memicu kenaikan harga yg menciptakan rumah jadi mimpi yg semakin jauh, atau seperti di Gaza, memaksa fokus bertahan hidup mengalahkan impian membangun kembali. Trauma psikologis akibat terusir & kehilangan tempat berlindung, seperti yg dialami warga Gaza, menciptakan luka mendalam yg lebih sulit sembuh daripada fondasi beton.
Lalu, di manakah jalan keluarnya? Solusi harus melampaui sekadar batu bata & semen. Untuk Gaza, rekonstruksi perlu berbasis pada pemulihan martabat melalui proses partisipatif yg melibatkan warga lokal, didukung pendanaan internasional tanpa syarat politik yg mencekik. Di tempat seperti Indonesia atau menghadapi fenomena *akiya*, model subsidi renovasi untuk keluarga berpenghasilan rendah atau pengembangan *co-housing* berbasis komunitas, seperti semangat Rumah Betang, dapat jadi alternatif. Kisah Ho Van Lang dari Vietnam, yg lebih nyenyak tidur di alam bebas daripada di kamar berpendharap, mengingatkan kita pada kebenaran sederhana: rumah sejati adalah tempat di mana manusia menemukan ruang untuk sepenuhnya “menjadi diri sendiri,” tempat jiwa menemukan keteduhan.
“*Mereka tak cuma menghancurkan batu, tetapi juga kami & bukti diri kami,*” ujar Asmaa Dwaima, dokter gigi Gaza yg rumahnya dihancurkan dua kali. Ucapan ini menyentuh inti fenomena global tentang rumah. Ia mengungkap betapa rapuh fondasi tempat kita berpijak ketika ketimpangan & kekerasan struktural merajalela. Rumah-rumah yg ditinggalkan, diperjualbelikan, atau diratakan jadi debu, adalah cermin dari krisis kemanusiaan yg lebih luas krisis tentang kepemilikan, identitas, & hak dasar untuk merasa aman. Dalam reruntuhan Gaza, di balik pintu-pintu kosong *akiya*, atau dalam impian tak terwujud keluarga Indonesia, tersimpan pertanyaan mendesak: bagaimana kita membangun kembali bukan cuma dinding, tetapi juga pengertian bersama tentang apa artinya memiliki tempat untuk pulang.