Ruang Tunggu Bernama Hidup
Langit sore Jakarta sedang muram saat Alvin duduk di pojok ruang tunggu Terminal Kampung Rambutan. Ransel lusuh di sampingnya berisi dua potong pakaian, satu buku catatan kecil, & impian yg sudah terlalu lama ditunda. Ia memegang tiket ke Purwokerto kota yg dulu cuma ia dengar dari cerita Rama, sahabatnya semasa SMA.
Alvin & Rama sudah bersahabat sejak kelas 10. Mereka berdua anak dari keluarga sederhana, tetapi berbeda nasib. Rama adalah anak penjual mie ayam yg sering ranking 1, sementara Alvin anak tukang las sering kali harus pontang-panting cari uang tambahan dengan jadi loper koran sepulang sekolah.
Tapi Rama tak pernah meninggalkannya. Mereka saling mendukung, berbagi mimpi di bawah jembatan layang dekat rel kereta, tempat mereka biasa nongkrong malam-malam.
Suatu hari, Vin, gue mau kuliah di Jogja. Mau jadi dosen, mengatakan Rama waktu itu.
Gue? Nggak tahu. Mungkin buka bengkel sendiri, asal dapat hidup, Alvin tertawa, padahal dalam hati ia juga punya mimpi kuliah. Tapi ia tahu, mimpi itu mahal.
Tahun berlalu. Rama benar-benar lolos beasiswa ke UGM. Alvin? Ia berhenti sekolah & bekerja sebagai buruh las. Ia bangga melihat Rama maju, tetapi diam-diam merasa tertinggal.
Mereka sempat kehilangan kontak beberapa tahun. Hingga suatu malam, Rama mengirim pesan lewat media sosial. Ia sekarang mengajar di Purwokerto, membuka kelas menulis gratis untuk anak-anak desa.
Datanglah kapan-kapan. Kita ngobrol lagi, tulisnya.
Pesan itu seperti menyentak Alvin. Hidupnya selama ini cuma soal bertahan. Gajinya pas-pasan, ayahnya sudah sakit-sakitan, & lingkungannya pun tak memberi ruang untuk tumbuh. Tapi pesan Rama menciptakan pikirannya tak tenang.
Gue ke sana, ya, Ram, balas Alvin dua hari kemudian.
Dan kini, ia duduk sendiri di terminal, menunggu bus malam sambil menatap sekeliling. Orang-orang datang & pergi, seperti hidup. Tak ada yg tahu siapa akan ke mana, atau untuk apa mereka berjalan sejauh ini.
Bus datang. Alvin naik, duduk di kursi dekat jendela. Lampu-lampu kota Jakarta perlahan tertinggal di belakang. Ia merasa cemas, tetapi juga sedikit bebas.
Delapan jam perjalanan terasa seperti mimpi. Pagi harinya, ia turun di terminal Purwokerto & langsung mencari alamat yg Rama berikan. Sebuah rumah kecil dengan papan nama bertuliskan: Kelas Tumbuh: Belajar Menulis & Hidup.
Rama membukakan pintu. Mereka saling menatap, terdiam, lalu tertawa kecil.
Lu beneran datang, mengatakan Rama.
Gue juga gak percaya, jawab Alvin.
Hari-hari berikutnya penuh kehangatan. Alvin ikut menolong di kelas, mengajar anak-anak menulis cerita. Ia terkejut melihat betapa hidup dapat sesederhana itu: memberi & tumbuh. Ia menemukan kembali sesuatu yg hilang mimpi.
Dua bulan kemudian, Alvin menulis cerpen pertamanya. Cerita tentang dua sahabat yg berjumpa di jembatan layang, & berpisah untuk mencari cahaya masing-masing.
Ia beri judul: Ruang Tunggu Bernama Hidup.
—