Review Cocote Tonggo (2025): Film Komedi Satir yg Menghibur
Yang menciptakan film ini istimewa adalah cara penyampaian kritik sosialnya yg dibalut dengan humor jenaka. Bayu Skak tidak menjadikan film ini sekadar lelucon, tetapi menyelipkan pesan tentang ketimpangan gender, di mana perempuan seperti Murni kerap disalahkan saat pasangan belum memiliki keturunan. Kritik ini disajikan tanpa menggurui, justru sering kali menciptakan penonton tertawa & tersadar di saat yg bersamaan.
Salah satu kekuatan utama dari film ini adalah atmosfer lokal yg terasa sangat hidup. Pengambilan gambar dilakukan di lokasi-lokasi ikonik seperti Kampung Batik Laweyan, Lokananta, & kawasan bersejarah Colomadu. Penonton tidak cuma disuguhi kisah menarik, tetapi juga diperkenalkan pada budaya Jawa, termasuk tradisi meracik jamu yg jadi bagian dari kehidupan tabiat utama.
Film ini juga mengpakai bahasa Jawa Mataraman sebagai bahasa utama dialognya. Keputusan ini memberi nilai tambah tersendiri, karena menciptakan kesan otentik & membangun kedekatan emosional dengan penonton, khususnya yg berasal dari daerah tersebut. Tantangan bahasa bagi aktor non-native pun terlihat berhasil diatasi dengan baik, walaupun terkadang masih terdengar pelafalan logat yg berbeda namun tidak mengganggu.
Sebenarnya, kalau dibandingkan dengan karya-karya Bayu Skak sebelumnya, seperti Yowis Ben atau Sekawan Limo, Cocote Tonggo sebenarnya tidak menawarkan hal yg berbeda. Ramuannya masih sama, yaitu tentang konflik keluarga & sosial. Tapi justru karena ramuannya sama, film ini terasa familiar & mudah diikuti.
Film ini cukup menghibur dengan membawa intrik keluarga & sosial dengan takaran yg pas, skornya 7/10.
Buat yg belum nonton, film Cocote Tonggo masih tayang di bioskop. Yuk buruan menonton!