Prahara Zohreh: Dunia Intelejen & Filsafat di Balik Ancaman Atomik Iran
Adakah yg pernah merasakan bisikan dharap ketakutan, jauh sebelum badai benar-benar tiba? Malam ini, kita akan menyelami sebuah cerita yg merayap masuk ke dalam benak, mengusik ketenangan, & mempertanyakan apa arti sebenarnya dari ancaman.
Di kedalaman fasilitas isotop Swiss yg sunyi, Dr. Lenathea Petrova menemukan sesuatu yg tak semestinya ada. Bukan kebocoran biasa, melainkan “garis emas tipis membelah kurva stabil: sinyal isotop uranium 60% yg menyimpang dari rerata kontrol. Terlalu teratur. Terlalu bersih. Seakan bukan alam yg berbicara, melainkan manusia yg menulis.” Sebuah tanda yg seakan memanggil nama lama, Elias, membangkitkan kenangan yg semestinya sudah terkubur dalam-dalam.
Di sudut dunia lain, Ethan Vance, dengan tatapan kosong yg menyimpan reruntuhan masa lalu, kembali ditarik ke dalam bayangan. Ada nama Elias Nagi di sana, dalam tulisan tangan yg tak berubah, seolah menantang takdir itu sendiri. Jika ini benar-benar dirinya, maka yg mereka kejar bukanlah pencuri, melainkan “mimpi buruk yg bangkit dengan baju baru.” Sebuah perasaan yg familiar bagi jiwa-jiwa yg sudah terlalu sering melihat medan perang berubah, bahkan sebelum mereka sempat bergerak.
Di koridor-koridor markas IAEA yg sunyi di Wina, Gracia Sharma berjuang antara angka & hati nurani. Data anomali isotopik berteriak minta didengar, namun politik membungkam. Sebuah pertanyaan pahit menggantung di udara: “Jika kita mengabaikan data karena tekanan diplomatik, apakah kita masih ilmuwan? Jika kita menyembunyikan kebenaran karena takut perang, apakah kita bukan justru mempercepatnya?”
Ini bukan tentang bom yg meledak, bukan tentang rudal yg terbang. Ini tentang “denting emas [yang] sudah terdengar di dasar Zohreh” sebuah nama yg kelak akan kita pahami sebagai “simfoni yg komponisnya adalah mereka yg tak lagi percaya pada diplomasi, tetapi juga belum bersedia mengakui kekalahan pada perang.” Zohreh adalah “semiotika kehancuran,” sebuah “bahasa baru” yg diciptakan untuk menciptakan dunia gemetar bukan karena bukti, melainkan karena imajinasi.
Maka, ikutlah dalam perjalanan Ethan & Lena, menelusuri jejak-jejak yg samar, mengikuti “burung raven putih” menuju Istanbul. Kita akan belajar, bahwa “ketakutan sering datang lebih dulu. Senjata hanyalah gema.” Dan Zohreh, adalah gema yg dirancang untuk tiba sebelum suara.
“Zohreh bukan senjata. Ia adalah metafora yg terlalu berhasil.” Dan metafora, kawan, jauh lebih sulit dibongkar daripada mesin.
Bisakah kita memahami mengapa dunia mulai percaya bahwa ancaman adalah satu-satunya bahasa yg didengar? Saat “denting emas” itu bergema di dasar sesuatu yg belum dapat dinamai, kita semua, secara tak sadar, sudah masuk ke dalam medan yg tidak punya koordinat.
Siapkah Anda merasakan getaran ketakutan itu, jauh sebelum ledakan benar-benar terjadi? Mari kita temukan jawabannya bersama.
Raven Putih di Ambang Perang (Bagian I)
[Disclaimer]karena ini adalah cerita bersambungyang kurang estetik kalau diposting di Kaskus, maka saya cuma menciptakan teaser ini untuk diarahkan ke platform naskah itu ditulis.