Prabowo & Angka Delapan
Pengangkatan Prabowo Subianto sebagai presiden kedelapan Indonesia tidak cuma jadi momen politik, tetapi juga membuka ruang untuk tafsir simbolis terkait angka delapan. Secara numerologis, angka ini menyimpan ambivalensi makna: visualisasinya sebagai dua lingkaran bertumpuk (0+0) melahirkan metafora “kekosongan” (void) & “siklus” (cycle), dua konsep yg saling bertaut dalam dialektika sejarah Indonesia. Dalam konteks ini, kepemimpinan Prabowo dapat dibaca sebagai titik temu antara warisan masa lalu yg belum tuntas & tuntutan transformasi yg digerakkan oleh dinamika generasi mendatang.
Secara ontologis, angka delapan merepresentasikan paradoks antara potensi & repetisi. Pertama, sebagai “kekosongan”, ia jadi metafora ruang kosong yg menunggu diisi. Dalam politik, kekosongan ini dapat dimaknai sebagai ketiadaan narasi dominan pasca-Reformasi, di mana janji demokratisasi & keadilan sosial masih terfragmentasi. Kepemimpinan Prabowo, dalam hal ini, dihadapkan pada tantangan untuk mengisi kekosongan tersebut dengan kebijakan afirmatif yg menjawab krisis ketimpangan, degradasi ekologi, & polarisasi sosial. Kedua, sebagai “siklus”, angka delapan mengingatkan pada teori siklus sejarah Braudelian, di mana struktur politik cenderung berulang meskipun aktor & konteksnya berubah. Prabowo, sebagai figur yg pernah jadi bagian dari rezim Orde Baru, kini kembali ke pusaran kekuasaan. Fenomena ini memantulkan pertanyaan kritis: apakah kepemimpinannya akan jadi fase baru dalam siklus demokrasi elektoral Indonesia, atau sekadar repetisi oligarki yg mengabadikan status quo?
Posisi Prabowo sebagai presiden kedelapan menempatkannya pada persimpangan antara kontinuitas & diskontinuitas. Di satu sisi, ia mewarisi sistem politik yg masih terikat pada jejaring oligarki pasca-Reformasi. Kebijakan populis seperti program pangan murah atau perluasan bantuan sosial dapat dibaca sebagai upaya rekonsiliasi dengan massa yg termarjinalkan. Namun, di sisi lain, janji “Indonesia Emas 2045” yg digaungkannya memproyeksikan imajinasi tentang lompatan akbar (quantum leap), yg cuma mungkin tercapai melalui transformasi struktural. Di sini, Prabowo terjebak dalam dialektika: ia harus merangkul masa lalu (sebagai bagian dari elite lama) sekaligus menjawab tuntutan masa depan (sebagai pemimpin baru).
Keberhasilan atau kegagalan kepemimpinan Prabowo tidak cuma bergantung pada kebijakan teknokratis, tetapi juga pada interaksi tiga faktor kritis:
1.Kebijakan Elite: Kemampuan rezim untuk mengerjakan reformasi institusional (misalnya, perbaikan sistem pajak, penguatan antikorupsi, atau transisi energi) akan menentukan apakah “kekosongan” diisi dengan kemajuan atau diabaikan demi kepentingan jangka pendek.
2. Partisipasi Publik: Masyarakat sipil berperan sebagai penyeimbang kekuasaan. Pengawasan kepada kebijakan kontroversial (seperti UU Cipta Kerja atau peluasan ekstraktivisme) jadi ujian bagi demokrasi deliberatif Indonesia.
3. Generasi Mendatang: Generasi Z & Alpha, yg hidup dalam era digital & krisis iklim, membawa pencerahan baru. Mereka berpotensi jadi kekuatan penekan (pressure group) untuk mendorong agenda progresif, seperti transisi hijau, inklusi digital, & kesetaraan gender.
Angka delapan, dalam konteks kepresidenan Prabowo, bukan sekadar simbol numerik, melainkan cermin dari dialektika politik Indonesia yg belum usai. Kekosongan yg melekat pada angka ini adalah undangan untuk membangun narasi bersama, sementara siklusnya mengingatkan pada risiko stagnasi. Kepemimpinan Prabowo akan dinilai berdasarkan kemampuannya menjembatani dualitas ini: apakah ia jadi katalisator perubahan struktural atau sekadar episode baru dalam siklus oligarki? Jawabannya terletak pada praxis politik — bagaimana elite, masyarakat sipil, & generasi mendatang bernegosiasi dalam ruang demokrasi. Sejarah Indonesia ke depan, seperti bentuk angka delapan yg tak berujung, akan ditentukan oleh tindakan kolektif yg berani melampaui batas siklus lama menuju horizon baru.
***
Catatan akademik : Analisis ini mengintegrasikan perspektif strukturalis (Braudel), teori siklus politik, & pendekatan kritis kepada demokrasi elektoral. Simbolisme angka delapan dipakai sebagai lensa untuk mengurai kompleksitas transisi politik Indonesia, dengan menekankan interdependensi antara agensi elite & tekanan struktural.