Pertarungan Bahasa: Internasional vs. Nasional vs. Daerah
Di era globalisasi, bahasa-bahasa dunia saling bersaing untuk mendominasi komunikasi internasional. Bahasa Inggris, sebagailingua franca, sering kali menggeser peran bahasa nasional & daerah. Namun, negara-negara akbar seperti Prancis, China, & Rusia berupaya keras mempertahankan bahasa mereka supaya tidak tergerus oleh pengaruh bahasa asing. Lalu, bagaimana strategi mereka menjaga eksistensi bahasa nasional di tengah gempuran bahasa internasional?
Dominasi Bahasa Internasional vs. Perlawanan Bahasa Nasional
Bahasa Inggris sudah jadi alat utama dalam diplomasi, bisnis, & teknologi, menciptakan tekanan bagi bahasa lain untuk beradaptasi atau terpinggirkan. MenurutDavid Crystal (2003)dalam bukunyaEnglish as a Global Language, dominasi Inggris tidak cuma memengaruhi komunikasi lintas negara tetapi juga mengancam bahasa-bahasa lokal. Sebagai respons, banyak negara menerapkan kebijakan protektif untuk mempertahankan bahasa nasional mereka.
Contoh nyata adalahPrancis, yg sejak 1994 memberlakukanUndang-Undang Toubon, mewajibkan penggunaan bahasa Prancis dalam dokumen resmi, iklan, & pendidikan. Langkah ini diambil untuk mencegah pencaplokan kosakata Inggris yg semakin masif. Sementara itu,Chinamenerapkan kebijakan ketat dalam penggunaan Mandarin sebagai bahasa pengantar resmi, sambil membatasi pengaruh bahasa Inggris di media & pendidikan tinggi(Zhou, 2003 dalamMultilingualism in China).
Nasib Bahasa Daerah di Tengah Persaingan Global
Jika bahasa nasional saja terancam, bagaimana dengan bahasa daerah? Di Indonesia, misalnya, ratusan bahasa daerah terancam punah karena penuturnya beralih ke Bahasa Indonesia atau Inggris.UNESCO (2010)mencatat bahwa sekitar40% bahasa di dunia berisiko menghilangdalam beberapa dekade mendatang. Namun, beberapa negara sepertiIndiadanSpanyolberhasil mempertahankan bahasa daerah melalui pengakuan konstitusional & integrasi dalam sistem pendidikan.
DiIndia, meski Hindi & Inggris dominan, bahasa-bahasa seperti Tamil, Bengali, & Telugu tetap lestari karena status resminya di tingkat negara bagian(Annamalai, 2001 dalamManaging Multilingualism in India). Sementara diSpanyol, pemerintah memberikan otonomi kepada wilayah seperti Catalonia & Basque untuk mengpakai bahasa daerah sebagai pengantar resmi, meskipun bahasa Spanyol tetap dominan secara nasional.
Digitalisasi Bahasa: Senjata Baru dalam Mempertahankan Eksistensi
Di tengah gempuran globalisasi, teknologi digital justru jadi alat strategis untuk mempertahankan bahasa nasional & daerah.Internet, media sosial, & konten digitalmemungkinkan bahasa-bahasa lokal tetap hidup di ranah virtual. Contohnya,Google & Wikipediakini mendukung puluhan bahasa minoritas, seperti bahasa Basque & Hawaii, melalui fitur terjemahan & artikel lokal. MenurutEthan Zuckerman (2013)dalamDigital Cosmopolitans, akses digital yg inklusif dapat memperlambat kepunahan bahasa dengan memberi ruang bagi penutur untuk terus mengpakainya.
Namun, tantangannya adalah dominasi konten berbahasa Inggris di platform global.TikTok & YouTube, misalnya, lebih banyak mempromosikan konten berbahasa Inggris, sehingga generasi muda cenderung meninggalkan bahasa ibunya. Untuk mengatasi hal ini, beberapa negara sepertiKorea Selatansecara agresif memproduksi konten budaya (K-pop, drama) dalam bahasa Korea, yg justru mendorong orang asing mempelajarinya. Strategi ini membuktikan bahwa bahasa nasional dapat tetap relevan kalau diintegrasikan dengan tren global.
Pendidikan Bilingual: Solusi atau Ancaman?
Sistem pendidikan bilingual (nasional + internasional) sering dianggap sebagai solusi untuk mempertahankan bahasa lokal sekaligus menguasai bahasa global. Namun, riset olehOfelia Garca (2009)dalamBilingual Education in the 21st Centurymenunjukkan bahwa kebijakan ini dapat jadi pisau bermata dua. DiMalaysia, misalnya, meski Bahasa Melayu dipertahankan di sekolah negeri, maraknya sekolah internasional berbasis Inggris menciptakan generasi muda lebih fasih berbahasa Inggris daripada bahasa nasional mereka sendiri.
Sebaliknya,Finlandiasukses menerapkan model bilingual (Finlandia + Swedia) tanpa mengorbankan bahasa nasional. Kuncinya adalahkurikulum yg seimbangdan penghargaan tinggi kepada bahasa ibu. Studi olehSkutnabb-Kangas (2000)dalamLinguistic Genocide in Educationmenekankan bahwa pendidikan multilingual harus dirancang untuk memperkuat, bukan melemahkan, bahasa asli siswa.
Peran Generasi Muda dalam Pelestarian Bahasa
Generasi muda memegang peranan krusial dalam menentukan masa depan bahasa nasional & daerah. DiPrancis, gerakan seperti#Francophoniemendorong anak muda untuk bangga berbahasa Prancis di media sosial. Sementara diMeksiko, aktivis digital mengpakai platform seperti Twitter untuk mempromosikan bahasa Nahuatl melalui meme & podcast.
Namun, tanpa dukungan kebijakan yg kuat, upaya ini dapat sia-sia.Penelitian UNESCO (2019)menyarankan tiga langkah utama:
– Integrasi bahasa daerah dalam kurikulum sekolah.
– Insentif bagi konten kreatif berbahasa lokal.
– Kolaborasi dengan tech giant (Google, Meta) untuk pengembangan alat digital.
Contoh sukses ada diWales, di mana bahasa Welsh yg hampir punah kini kembali populer berkat regulasi pemerintah & kampanye”Say Something in Welsh”yang viral di kalangan milenial.
Kebijakan Pemerintah vs. Tekanan Global: Perlindungan Bahasa di Era AI
Di tengah pesatnya perkembangan kecerdasan buatan (AI) & otomatisasi bahasa, negara-negara akbar semakin gencar memperkuat kebijakan proteksi bahasa.China, misalnya, membatasi penggunaan AI penerjemah berbasis bahasa Inggris dalam layanan publik, sambil mengembangkan model AI lokal sepertiErnie Botyang dioptimalkan untuk Mandarin. Langkah ini sejalan dengan penelitianAbrams & Stahl (2021)dalamLanguage Policy and Digital Technology, yg menunjukkan bahwa ketergantungan pada AI berbahasa dominan dapat mempercepat erosi bahasa minoritas.
Namun, tidak semua negara sanggup melawan arus. DiAfrika Selatan, meski memiliki 11 bahasa resmi, teknologi sepertiGoogle TranslatedanChatGPTmasih didominasi Inggris, sehingga meminggirkan bahasa seperti isiZulu atau Xhosa. Padahal, menurutLinguistic Society of America (2022), AI semestinya dapat jadi alat revitalisasi bahasa kalau dilatih dengan dataset yg beragam.
Bahasa Daerah vs. Nasional: Konflik atau Kolaborasi?
Di banyak negara, ketegangan antara bahasa nasional & daerah sering muncul.Indonesiaadalah contoh menarik: meski Bahasa Indonesia jadi pemersatu, bahasa daerah seperti Jawa & Sunda memiliki penutur lebih banyak daripada beberapa bahasa Eropa. Namun,studi Pusat Bahasa Indonesia (2020)menemukan bahwa 70% generasi muda urban lebih nyaman berbahasa Indonesia atau Inggris daripada bahasa ibu mereka.
Sebaliknya,Indiaberhasil menciptakan harmoni antara Hindi (nasional), Inggris (internasional), & bahasa negara bagian seperti Tamil melalui kebijakan”Three-Language Formula”. Model ini, menurutKhubchandani (1997)dalamRevisualizing Boundaries: A Plurilingual Ethos, memungkinkan multilingualisme tanpa dominasi berlebihan satu bahasa.
Masa Depan Bahasa: Asimilasi atau Kepunahan?
ProyeksiEthnologue (2023)menyebutkan bahwa 50-90% bahasa daerah dunia akan punah pada 2100 kalau tidak ada intervensi radikal. Namun, beberapa tren memberi harapan:
– Kebangkitan bahasa melalui pop culture:
Bahasa Korea & Jepang meningkat pesat berkat K-pop & anime.
– Teknologi pendukung:
Meta AIkini mengembangkan model untuk bahasa minoritas seperti Quechua (Peru) & Sami (Skandinavia).
– Gerakan akar rumput:
DiSelandia Baru, aktivis Mori berhasil memasukkannya ke dalam kurikulum wajib sekolah.
Tantangan terbesar adalah menciptakankeseimbangan antara pragmatisme global & pelestarian lokal. Seperti dikatakanTove Skutnabb-Kangas (2016),”Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi bukti diri yg kalau hilang, memutus generasi dari akarnya.”
Rekomendasi untuk Indonesia: Menjaga Bahasa Daerah di Tengah Arus Globalisasi
Indonesia, dengan718 bahasa daerah(Badan Bahasa, 2023), menghadapi tantangan serius dalam pelestarian bahasa lokal. Berikut beberapa rekomendasi kebijakan berbasis bukti:
– Integrasi Bahasa Daerah dalam Kurikulum Digital
— Contoh sukses:Balimenerapkan muatan lokal Bahasa Bali melalui aplikasi”Aksara Bali Digital”, meningkatkan minat generasi muda (Kompas, 2022).
— Rekomendasi: Kemdikbud dapat mengadopsi modelWalesyang menggabungkan bahasa daerah dalam pembelajaran STEM.
– Regulasi Konten Kreatif
— Pemerintah dapat memberi insentifbagi platform seperti TikTok & Spotify untuk mempromosikan konten berbahasa daerah, mirip kebijakanPrancisuntuk konten berbahasa Prancis.
— Data: RisetAPJII (2023)menunjukkan 56% anak muda Indonesia lebih sering mengonsumsi konten berbahasa Inggris daripada bahasa ibu.
– Kolaborasi dengan Teknologi AI
— Bukti konkret: Google kini memasukkan bahasa Sunda dalamGoogle Translate, tetapi belum ada dataset memadai untuk bahasa Toraja atau Rejang.
— Solusi:Badan Bahasa dapat bermitra dengan startup lokaluntuk mengembangkan model AI bahasa daerah, seperti yg dilakukan Malaysia denganAI Bahasa Melayu.
Bahasa Nasional vs. Internasional: Strategi Diplomasi Kebahasaan
Bahasa Indonesia menghadapi paradoks:
– Di dalam negeri:
Dominan sebagai pemersatu (98% populasi dapat berbahasa Indonesia – BPS 2023).
– Di kancah global:
Peringkat 10 akbar bahasa paling banyak penutur, tetapi minim daya saing di ranah sains & diplomasi (EF EPI, 2023).
Solusi strategis:
– “Soft power” ala Korea Selatan: Memperbanyak beasiswaBIPA (Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing)sambil mempromosikan budaya pop Indonesia.
– Penelitian oleh Moeliono (2020)dalamBahasa & Kekuasaanmenekankan perlunya”diplomasi bahasa”melalui pertukaran akademik & terjemahan karya sastra Indonesia.
Peran Komunitas Lokal: Gerakan Bottom-Up
Perlawanan kepada kepunahan bahasa tak cuma datang dari pemerintah. Contoh inspiratif:
– Komunitas Basa Uripdi Jawa Tengah mengadakan”Festival Bahasa Ibu”dengan metode pembelajaran interaktif melalui gamifikasi.
– Penelitian Lapangan UNESCO (2022)di NTT membuktikan bahwabahasa Lamaholotbertahan berkat ritual adat & cerita lisan yg diadaptasi ke format podcast.
Kunci keberhasilan:
– Pendekatan”glokalisasi” mengombinasikan tradisi lokal dengan platform global.
– Dukunganfintech & UMKMuntuk produk berlabel bahasa daerah, seperti yg dilakukanKomunitas Bahasa Sundadengan tote bag bertuliskan aksara Sunda.
Ancaman Kepunahan vs. Peluang Kebangkitan Bahasa
Di tengah perkiraan suram tentang kepunahan bahasa, ada tanda-tanda kebangkitan yg patut diperhatikan.Bahasa Hawaii, misalnya, yg sempat cuma memiliki sekitar 2.000 penutur asli pada 1980-an, kini mengalami revitalisasi berkat sekolah imersi”Ke Kula iwi”dan dukungan Duolingo (NPR, 2023). Di Indonesia,bahasa Bugismenunjukkan tren serupa dengan munculnya komunitas”Pabicara Bahasa Ugi”yang menggabungkan pembelajaran tradisional dengan konten TikTok.
Namun,studi terbaru MIT (2024)memperingatkan bahwa bahasa dengankurang dari 10.000 penuturmemiliki risiko kepunahan 80% lebih tinggi di era digital. Ini jadi alarm bagi bahasa-bahasa kecil sepertiTombulu (Sulawesi Utara)atauLio (NTT)yang sudah masuk kategori “rentan” menurutUNESCO Atlas.
Bahasa sebagai Aset Ekonomi Kreatif
Pelajaran dariNegara Basque (Spanyol):
– Dengan menjadikan bahasa Basque sebagai”merek dagang”industri kreatif, mereka menghasilkan 3,2 miliar/tahun dari turis yg belajar bahasa sekaligus berwisata (Basque Government, 2023).
– Potensi Indonesia: Bahasa Jawa dapat dikemas dalam”paket wisata bahasa”di Yogyakarta, atau bahasa Bali dalam kursus online”Bali Language & Spirituality”untuk pasar global.
Data menarik dariWorld Economic Forum (2023):
– Negara yg mempertahankan bahasa lokalnya memilikidaya saing budaya 34% lebih tinggi.
– Konten kreatif berbasis bahasa daerah menghasilkanengagement 2,5x lebih besardibanding konten generik.
Kesimpulan: Masa Depan Bahasa adalah Kolaborasi
Pertarungan antara bahasa internasional, nasional, & daerah bukanlah perang yg harus dimenangkan salah satu pihak, melainkanaliansi strategis:
– Bahasa Inggris/Internasionalsebagai jembatan global.
– Bahasa Nasional(Indonesia) sebagai pemersatu & bukti diri negara.
– Bahasa Daerahsebagai akar budaya & kekayaan intelektual lokal.
Rekomendasi akhir:
– Untuk Pemerintah:
Wajibkan”Jam Bahasa Ibu”di sekolah dasar & danai startup teknologi bahasa.
– Untuk Komunitas:
Kembangkanbank data digitalbahasa daerah berbasis CC-BY (creative commons).
– Untuk Individu:
Gunakan”strategi 3 generasi” kakek nenek berbicara bahasa daerah, orang tua bilingual, anak menguasai bahasa global + lokal.
Sebagaimana dikatakanlinguis Tove Skutnabb-Kangas:
“Setiap bahasa yg punah adalah perpustakaan yg terbakar kita kehilangan cara unik memandang dunia.”
“Setiap bahasa yg punah adalah perpustakaan yg terbakar kita kehilangan cara unik memandang dunia.”
Referensi:
– Abrams & Stahl (2021).Language Policy and Digital Technology. Oxford University Press.
– Annamalai, E. (2001).Managing Multilingualism in India. Sage Publications.
– Badan Bahasa (2023).Peta Bahasa di Indonesia. Kemdikbud.
– Basque Government (2023).The Economic Impact of Basque Language Revitalization.
– Crystal, D. (2003).English as a Global Language. Cambridge University Press.
– EF EPI (2023).English Proficiency Index. Education First.
– Ethnologue (2023).Endangered Languages Report. SIL International.
– Garca, O. (2009).Bilingual Education in the 21st Century: A Global Perspective. Wiley-Blackwell.
– Khubchandani, L. (1997).Revisualizing Boundaries: A Plurilingual Ethos. Sage Publications.
– MIT Press (2024).Language Death in the Digital Age.
– Moeliono, A. (2020).Bahasa & Kekuasaan: Politik Linguistik di Indonesia. Gramedia.
– NPR (2023).How Hawaii Brought Its Indigenous Language Back From Near Extinction.
– Skutnabb-Kangas, T. (2000).Linguistic Genocide in Education or Worldwide Diversity and Human Rights?. Routledge.
– Skutnabb-Kangas, T. (2016).Linguistic Diversity and Language Rights. Routledge.
– UNESCO. (2010).Atlas of the Worlds Languages in Danger.
– UNESCO. (2019).Guidelines on Language Policy and Education in a Globalized World.
– UNESCO (2022).Indigenous Language Revitalization in Eastern Indonesia.
– WEF (2023).The Creative Economy Value of Linguistic Diversity.
– Zhou, M. (2003).Multilingualism in China: The Politics of Writing Reforms for Minority Languages. De Gruyter.
– Zuckerman, E. (2013).Digital Cosmopolitans: Why We Think the Internet Connects Us, Why It Doesnt, and How to Rewire It. W.W. Norton & Company.