Perbedaan Jurnalis & Content Creator dari Segi Hukum
Dalam era digital saat ini, istilah jurnalis & content creator sering dipakai secara bergantian, padahal keduanya memiliki disparitas mendasar, khususnya dari segi hukum. Jurnalis berfungsi sebagai penyampai berita yg kredibel & terikat pada kode etik jurnalistik, sedangkan content creator lebih bebas dalam menciptakan konten sesuai dengan kreativitasnya. Namun, bagaimana disparitas keduanya dalam aspek hukum?
1. Regulasi & Payung Hukum
Salah satu disparitas utama antara jurnalis & content creator adalah regulasi yg mengaturnya.
Jurnalis bekerja di bawah naungan Undang-Undang Pers No. 40 Tahun 1999, yg memberikan pedoman tentang kebebasan pers, hak jurnalis, serta tanggung jawabnya dalam menyampaikan informasi yg benar & akurat. Selain itu, jurnalis juga terikat pada Kode Etik Jurnalistik, yg mengatur bagaimana berita harus disajikan secara berimbang & tidak menyesatkan.
Content creator tidak memiliki regulasi spesifik yg mengatur profesi mereka. Namun, mereka tetap tunduk pada berbagai peraturan biasa seperti Undang-Undang Informasi & Transaksi Elektronik (UU ITE) No. 19 Tahun 2016, UU Hak Cipta, serta hukum proteksi konsumen kalau mereka terlibat dalam promosi atau endorsement produk.
2. Hak & Perlindungan Hukum
Jurnalis memiliki proteksi hukum yg lebih jelas dibandingkan dengan content creator.
Seorang jurnalis berhak melindungi sumber berita & tidak dapat dipaksa untuk mengungkap informasi yg diperoleh secara profesional. Jika menghadapi kriminalisasi dalam tugasnya, jurnalis dapat mendapatkan proteksi dari Dewan Pers.
Sebaliknya, content creator tidak memiliki proteksi spesifik dalam menjalankan pekerjaannya. Jika terjerat masalah hukum, mereka akan diproses berdasarkan hukum biasa yg berlaku, tanpa ada lembaga spesifik seperti Dewan Pers yg memberikan advokasi.
3. Tanggung Jawab Hukum
Baik jurnalis maupun content creator harus berhati-hati dalam menyampaikan informasi supaya tidak melanggar hukum.
Jurnalis wajib menyajikan berita yg akurat, berimbang, & tidak menghakimi, sesuai dengan prinsip jurnalistik. Jika melanggar kode etik, mereka dapat dikenai sanksi oleh Dewan Pers atau tuntutan hukum dari pihak yg dirugikan.
Content creator memiliki kebebasan dalam menciptakan konten, tetapi tetap harus mematuhi aturan yg berlaku. Jika menyebarkan hoaks, pencemaran nama baik, atau pelanggaran hak cipta, mereka dapat dijerat dengan pasal dalam UU ITE, KUHP, atau UU Hak Cipta.
4. Kredibilitas & Akreditasi
Jurnalis umumnya bekerja di bawah institusi media yg sudah terverifikasi & memiliki kartu pers sebagai tanda profesionalitas mereka. Di sisi lain, content creator tidak memerlukan sertifikasi khusus. Siapa saja dapat jadi content creator selama memiliki platform untuk menyebarkan konten mereka, seperti YouTube, TikTok, atau Instagram.
Kesimpulan
Dari segi hukum, jurnalis memiliki regulasi & proteksi lebih kuat dibandingkan content creator. Mereka terikat dengan UU Pers & Kode Etik Jurnalistik, serta memiliki hak istimewa dalam melindungi sumber berita. Sementara itu, content creator lebih bebas dalam berkarya, tetapi tetap dapat dikenai sanksi hukum kalau melanggar aturan seperti UU ITE atau hukum hak cipta. Oleh karena itu, penting bagi jurnalis maupun content creator untuk memahami batasan hukum yg berlaku supaya tidak terjerat masalah di kemudian hari.