Penulisan Ulang Sejarah Indonesia & Penolakan Narasi Tunggal
Pada Mei 2025, Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) mengeluarkan manifesto yg menentang upaya pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia jadi satu narasi tunggal yg dikendalikan oleh kekuasaan.
Aliansi mengingatkan bahwa sejarah bukan milik pemerintah, tetapi milik rakyat.
Bagi mereka, penyeragaman sejarah yg dipaksakan tidak cuma membungkam suara-suara kritis dari rakyat, tetapi juga berpotensi menghilangkan bukti diri & memori kolektif bangsa.
Diketahui, rencana pemerintah untuk menulis ulang sejarah Indonesia jadi tema utama dalam wacana publik yg bergulir belakangan ini.
Pada 26 Mei 2025, Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengungkapkan bahwa pemerintah membuka ruang untuk diskusi publik terkait penulisan ulang buku sejarah Indonesia yg sedang disusun.
“Ya tunggu dulu bukunya, atau hingga progress, saya hinggakan tadi mungkin 70 persen, 80 persen. Sekarang sudah di atas 50 persen,” katanya di kompleks parlemen, Jakarta, Senin, dikutip dari Antara.
Draf buku sejarah ini dirancang dengan melibatkan 113 penulis, 20 editor jilid, & tiga editor biasa dari kalangan sejarawan & akademisi lintas disiplin ilmu, termasuk arkeologi & geografi.
Menurut Fadli Zon, meskipun penulisan buku sejarah ini sudah mencapai progres lebih dari 50 persen, pemerintah masih akan membuka ruang bagi masyarakat untuk memberikan masukan setelah draf selesai.
Namun, meski pemerintah mengklaim keterlibatan berbagai pihak, ada potensi bahwa penulisan sejarah yg terlalu terpusat di tangan kekuasaan. Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar, mengingat sejarah Indonesia selama ini sudah banyak dipengaruhi oleh dinamika politik yg tidak sering memperhatikan keragaman perspektif.
Sebab, sejarah adalah cerita tentang masa lalu yg memiliki banyak dimensi. Karena itu, penulisan sejarah yg ideal adalah yg sanggup mengakomodasi berbagai perspektif & pengalaman.
Dalam hal ini, para pakar dari AKSI menegaskan pentingnya penulisan sejarah yg bersifat terbuka & inklusif, bukan yg dipaksakan atau dijadikan alat politik oleh kekuasaan. Hal ini ditegaskan dalam Manifesto AKSI yg menolak sejarah yg cuma menggambarkan satu narasi tunggal.
Dalam pandangan AKSI, penulisan sejarah harus menghargai keragaman suara, bukan menyamakan atau menyingkirkan mereka yg memiliki pengalaman berbeda.
“Kita harus menolak sejarah resmi yg teramat dipaksakan, yg membungkam suara-suara kritis, menghilangkan bukti diri & memori kolektif rakyat. Kita harus menolak sejarah tunggal karena itu berarti meniadakan kompleksitas & keragaman pengalaman manusia,” begitu Manifesto AKSI.
“Kita harus berjuang untuk sebuah sejarah yg egaliter, demokratis, & berkeadilan. Kita harus berjuang untuk dapat memastikan bahwa suara-suara rakyat didengar, bahwa pengalaman-pengalaman mereka dihormati, & bahwa kebenaran tentang masa lalu diungkapkan. Kita harus berjuang untuk memastikan bahwa sejarah tidak lagi dipakai sebagai alat penopang struktur kekuasaan, tetapi sebagai cermin kebenaran & keadilan,” lanjut Manifesto AKSI.
Penulisan Sejarah yg Demokratis & Berkeadilan
Gagasan menulis ulang sejarah bukan hal baru. Sejarawan Abdul Wahid, dalam sebuah diskusi pada 2018, mengkritik fenomena ahistoris & apolitis yg terkadang muncul dalam penulisan sejarah Indonesia. Sebagian akbar ilmu sejarah di Indonesia itu apolitis, tetapi beberapa kecilnya tidak, ucap Abdul Wahid, diakses dari laman UGM.
Wahid menegaskan bahwa setiap opsi topik dalam penulisan sejarah sesungguhnya adalah opsi politik, yg tidak dapat dilepaskan dari konteks ekonomi-politik yg melatarbelakanginya.
Menurutnya, sejarah yg tidak mempertimbangkan latar belakang politik & sosial seringkali cuma akan menghasilkan narasi yg terdistorsi & jauh dari realitas.
Salah satu usulan penting yg dikemukakan oleh para pakar sejarah, seperti yg dipaparkan dalam diskusi publik tentang Ilmu Sejarah & Perkembangan Ilmu-Ilmu Sosial di Indonesia, adalah pentingnya menjaga independensi dalam penulisan sejarah.
Dalam diskusi tersebut, Lambang Trijono, dosen FISIPOL UGM, mengungkapkan bahwa ilmu sosial, termasuk sejarah, tidak boleh kehilangan daya kritisnya kepada realitas sosial-politik yg ada. Sebuah sejarah yg ditulis tanpa mempertimbangkan konteks politik & sosial akan jadi sejarah yg hampa & kehilangan maknanya
Sejarawan harus sanggup menghindari konstruk-konstruk yg manipulatif & mengembalikan sejarah pada akar-akarnya yg lebih riil, sesuai dengan kenyataan yg terjadi.
Abdul Wahid juga menambahkan bahwa sejarah Indonesia mengalami perkembangan yg signifikan dalam empat periode besar: periode kolonial, masa pembangunan negara pasca-kemerdekaan, periode pembangunan ekonomi di era Orde Baru, & masa reformasi setelah 1998. Dalam setiap periode tersebut, penulisan sejarah tidak cuma dipengaruhi oleh kondisi sosial & politik, tetapi juga oleh kepentingan pihak-pihak yg berkuasa.
Wahid menegaskan bahwa penulisan sejarah Indonesia harus berfokus pada kebenaran & fakta, bukan pada kepentingan politik tertentu.