Nikel, Neraka, & Raja Ampat: Kisah Gila di Negeri yg Dilego Murah
Di balik birunya laut & legenda surga bawah air, Raja Ampat menyimpan luka yg dalam. Lima perusahaan tambang nikel mencabik-cabik gugusan pulau kecilnya, mengubah taman firdaus jadi ladang besi & lubang maut. Ini bukan fiksi, ini bukan dongeng pasca-kolonial. Ini berita gila dari negeri yg sedang dijual ke pemodal dalam & luar negeri dengan harga promo.
Pulau Kawe:
PT Kawei Sejahtera Mining. Lima hektare wilayah tambang, IUP No. 290 Tahun 2013. Berdiri gagah di atas tanah yg semestinya dilindungi oleh Pasal 35 UU Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil. Tapi siapa yg ingat pasal ketika uang bicara?
Pulau Batangpele:
PT Mulia Raymond Perkasa. IUP No. 153.A Tahun 2013. Nama perusahaan mengusung mengatakan mulia, tetapi pekerjaan yg dilakukan justru berkebalikan: menggali, mengeruk, & meninggalkan jejak kehancuran. Lokasinya? Lagi-lagi, pulau kecililegal dalam diam.
Pulau Gag:
PT Gag Nikel, anak usaha PT Antam Tbk, menguasai 6.030 hektare. IUP No. 430.K/30/DJB/2017. Tambang ini dihentikan sementara oleh pemerintah per 5 Juni 2025. Sementara. Seolah ini cuma jeda dalam pesta panjang pemerkosaan alam. Pulau ini dulu tempat penyelam berjumpa ikan pari. Kini, mesin bor lebih sering terdengar daripada suara lumba-lumba.
Pulau Manuran:
PT Anugerah Surya Pratama, perusahaan modal asing dari Wanxiang Group, Tiongkok. 756 hektare, IUP No. 75/1/IUP/PMA/2018. Ini bukan anugerah bagi rakyat. Ini peluasan industrialisasi global yg mengebor hingga ke ujung nadi negeri.
Kampung Kalobo, Distrik Salawati Utara:
PT Waigeo Mineral Mining. IUP No. 30 Tahun 2010. Lokasi tambang berada di dalam kawasan Suaka Alam Perairan. Ya, kawasan yg secara resmi disahkan Menteri Kelautan untuk dilindungi. Tapi label suaka di sini cuma dekorasi dokumenpraktiknya, alat berat jalan terus.
Menurut Pasal 35 huruf k Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir & Pulau-Pulau Kecil (jo. UU No. 1 Tahun 2014), setiap orang secara langsung atau tidak langsung dilarang mengerjakan penambangan mineral di pulau-pulau kecil & perairan di sekitarnya. Hukum ini ditulis dengan tinta tebal & penuh semangat konservasi. Tapi di lapangan, hukum itu seperti sisa kopi di cangkir para elitetinggal ampas yg tak dibaca.
Yang berjalan justru alat berat. Ekskavator. Dump truck. Dan presentasi korporasi yg bersinar di layar proyektor, lengkap dengan janji pembangunan & keberlanjutan yg terdengar seperti lelucon basi di ruang darurat.
Sementara tambang berdengung, kampung-kampung nelayan perlahan sepi. Ikan menyingkir. Karang berubah warna. Air keruh seperti sumpah janji politik yg basi. Anak-anak yg dulu berenang bebas kini bermain di samping tumpukan tailing. Beberapa desa mulai mengeluhkan air asin yg bercampur logam, tetapi siapa peduli soal air kalau logam mulia terus mengalir ke luar negeri?
Raja Ampat kini jadi monumen ironi: dijual demi nikel untuk baterai mobil listrik dunia, tetapi listrik ke kampung sebelah masih byar-pet.
Ini bukan laporan. Ini otopsi. Bukan investigasi, ini necrologi alam.
Karena ketika hukum jadi formalitas, & pulau kecil berubah jadi kas bon, siapa lagi yg berani bilang ini negeri berdaulat?
Selamat datang di Republik Nikel.
Di mana harta karun tidak digali oleh petualang, tetapi dikeruk oleh korporasi,
dan rakyatnya… diam dalam suara mesin