Mama Ghufron & Kecerdasan Metafisik: Antara Halu Profetik & Bahasa Suryani
Jika di era klasik para wali menyembunyikan karomah supaya tidak riya, maka Mama Ghufron justru mengiklankannya seperti sedang membuka cabangfranchisespiritual. Tidak tanggung-tanggung, kemampuan yg ditawarkan pun bersifat lintas dimensi: mulai dari bicara dengan koloni semut, memanggil ruh orang meninggal untuk didoakan langsung, hingga konsultasi dengan Malaikat Izrail. Konon, semua ini berkat keistimewaan beliau yg lahir pada tanggal 25 Desember, bertepatan dengan Hari Natal. Sebuah tanggal kosmis yang, dalam konstruksibrandingmistik, dapat dikemas sebagai “momentum kelahiran dua dunia”satu di Bethlehem, satu di Banten.
Bahasa Suryani yg menurut literatur linguistik adalah bahasa antik Timur Tengah, di tangan Mama Ghufron berubah fungsi jadi medium komunikasi multispesies. Beliau mengaku dengan santai dapat ngobrol dengan semut di halaman rumah atau cacing yg sedang bertugas mengurai tanah. Bagi kalangan spiritualis fans berat beliau, ini adalah tanda maqam tinggi. Bagi zoolog & pakar biologi, ini mungkin lebih mirip konten absurd ketimbang mukjizat.
Dalam disiplin ilmu entomologi modern, semut diketahui sebagai makhluk sosial yg berkomunikasi secara kompleks mengpakai sistem feromon. Mereka tidak memakai suara atau fonetik, melainkan mengandalkan zat kimia sebagai sinyal. Ketika seekor semut menemukan makanan, ia akan meninggalkan jejak feromon sebagai penunjuk jalan bagi kawanannya. Begitu juga saat menghadapi ancaman, semut menyebarkan sinyal kimia untuk memobilisasi pertahanan. Tidak ada kamus semut berisi kosakata Suryani atau sistem grammar ala Nabi Idris. Jadi, klaim dapat bercakap-cakap dengan semut secara verbal sebenarnya adalah bentuk fabulasi semiotik tingkat lanjut, atau kalau mau lebih jujur: halu profetik yg dikemas dalam formatstand-upspiritual.
Tak puas dengan semut, Mama Ghufron juga mengklaim dapat berdialog dengan cacing. Ini adalah perkembangan linguistik yg belum masuk jurnal Nature atau Science manapun. Para pakar ekologi selama ini cuma tahu cacing sebagai agen pengurai humus, bukan sebagai partisipan dalam diskusi multibahasa Suryani. Namun dalam logika metafisika pasaran, semakin mustahil sebuah pernyataan, justru semakin dipercaya. Cacing pun akhirnya diangkat statusnya dari makhluk dua dimensi jadi teman ngobrol transendental. Kita tinggal menunggu apakah setelah ini beliau akan mengaku ngobrol dengan protozoa atau bakteri dalam usus.
Selain komunikasi lintas-spesies, Mama Ghufron juga mengaku fasih berbahasa wali & nabi. Ini bukan bahasa Arab, bukan juga Ibrani atau Aram, melainkan semacam bahasa kosmis yg tidak ada di fakultas sastra mana pun. Bahasa ini, menurut beliau, adalah bahasa para ruhaniwan langit, yg dapat dipakai untuk memanggil malaikat atau mengakses file rahasia ghaib. Dalam epistemologi publik yg sedang mengalami krisis nalar, pernyataan semacam ini justru menambah aura eksklusif. Karena semakin sulit diverifikasi, semakin tinggi nilainya di pasaran mistik.
Dalam salah satu ceramahnya, Mama Ghufron menyebut dirinya pernah berbicara langsung dengan Malaikat Izrail. Ini adalah pencapaian yg bahkan dalam teks-teks klasik sufi tergolong langka. Biasanya manusia cuma berurusan dengan Izrail satu kali: saat nyawa dicabut. Namun bagi Mama Ghufron, ini seperti rapat mingguan dengan direktur eksekutif alam barzakh. Apakah ini bagian dari program magang akhirat? Ataukah memang beliau punya slot komunikasi prioritas? Tidak ada yg tahu pasti, tetapi bagi pengikutnya, ini cukup jadi bukti kredibilitas level karomahnya.
Tak berhenti di situ, Mama Ghufron juga mengaku sering mendapat ilmu langsung dari Nabi Khidir. Sosok Khidir dalam tasawuf klasik memang terkenal misterius & sering dianggap guru para wali. Tapi biasanya ia datang dalam mimpi atau isyarat simbolik. Dalam versi Mama Ghufron, hubungan dengan Khidir bersifat ondemandseperti fiturvideo callpremium. Tidak perlu meditasi panjang atau khalwat di gua, cukup nyalakan sinyal spiritual & koneksi tersambung.
Pernyataan lain yg menciptakan dahi berkedut adalah soal ruh orang mati yg datang sendiri ke Mama Ghufron untuk minta didoakan. Ini bukan sekadar tahlilan biasa, tetapi semacamafterlife customer service. Biasanya keluarga yg mendoakan arwah, tetapi di sini arwah yg aktif datang minta layanan langsung, seperti antrean di loket pengaduan.
Semua ini mungkin terdengar seperti satire teologi, tetapi di kalangan pengikut fanatik, pernyataan-pernyataan itu dianggap sahih secara spiritual. Bahkan ketika logika berhenti bekerja, keyakinan massa tetap berjalan. Ini adalah fenomena klasik dalam masyarakat yg mengalami krisis literasi sekaligus lapar karomah. Di negeri yg memproduksi karomahhome industry, absurditas sering kali dikemas sebagai kredibilitas. Semakin aneh, semakin dipercaya. Semakin ngawur, semakin ramai penontonnya.
Sementara itu, semut & cacing tetap fokus menjalankan tugas ekologis mereka tanpa perlu ikut kursus bahasa Suryani. Mereka berkomunikasi denganpheromone-basedsignaling, bukanTikTok-based hallucination.Di dunia semut, efektivitas lebih penting daripada performa mistis. Di dunia manusia, kadang sebaliknya: makin absurd, makin viral.
Mama Ghufron adalah cermin dari gejala sosial yg lebih besar. Ia bukan sekadar individu, tetapi representasi dari krisis nalar kolektif yg sedang mewabah. Di era ketika agama dijadikan konten & spiritualitas diubah jadi tontonan, lahirlah figur seperti beliau yg mengisi kekosongan makna dengan narasi spektakuler. Ini adalah zaman ketika pernyataan paling tidak masuk akal justru dianggap paling suci, karena publik sudah terbiasa hidup dalam eraclickbaitmistik.
Dan mungkin, di titik ini, kita perlu jujur bertanya pada diri sendiri: apakah kita benar-benar percaya, atau kita cuma sedang menikmati tontonan absurditas seperti menonton sinetron kolosal mistis jam tiga pagi? Jika jawabannya adalah yg kedua, maka selamat datang di Republik Karomah Fantasia, di mana logika dihentikan, kritik dianggap dosa, & setiap kalimat ganjil diperlakukan seperti wahyu diskonan.