Lelaki & Lampu Jalan
Setiap malam pukul sebelas, lelaki itu datang. Ia duduk di bawah lampu jalan yg menyala temaram di tikungan sepi, tepat di depan rumah tua yg sudah lama kosong. Tak ada yg tahu siapa namanya. Warga sekitar cuma memanggilnya Lelaki Lampu Jalan.
Tak pernah lebih dari sepuluh menit ia duduk. Kadang merokok, kadang cuma menatap jalanan kosong. Beberapa anak muda yg penasaran pernah mengintip dari kejauhan, mencoba menebak apakah dia hantu, orang gila, atau sekadar pengelana. Tapi setiap kali didekati, lelaki itu menghilang begitu sajaseperti kabut tertiup angin malam.
Kabar tentangnya menyebar dari mulut ke mulut. Ada yg bilang ia menunggu kekasih yg sudah meninggal. Ada juga yg percaya bahwa ia dulunya penjaga rumah tua itu, yg dibunuh secara tragis. Cerita berkembang, & imajinasi warga menciptakan sosoknya makin misterius.
Namun yg sebenarnya terjadi jauh lebih sederhanadan lebih menyedihkan.
Nama lelaki itu adalah Hasan. Ia dulunya adalah seorang sopir bus malam antar kota. Selama dua puluh tahun, ia hidup di jalanan, membawa penumpang, mendengar ratusan cerita, & menyaksikan beribu pemandangan indah dari balik kaca depan bus. Tapi satu peristiwa mengubah segalanya.
Empat tahun lalu, Hasan mengalami kecelakaan hebat. Bus yg dikemudikannya tergelincir di tikungan tajam dalam hujan deras. Tiga penumpang meninggal. Meski ia tidak dipenjara karena kecelakaan itu murni karena faktor cuaca & rem blong, rasa bersalah tak pernah pergi dari hatinya.
Setelah kejadian itu, ia tak lagi mengemudi. Ia pensiun dini, menjual semua yg ia punya, lalu pergi ke kota kecil tempat rumah masa kecilnya berdirirumah tua yg kini kosong, rapuh, & penuh kenangan.
Setiap malam, ia datang ke sana. Duduk di bawah lampu jalan yg dulu dipasang oleh ayahnyaseorang mandor jalanan yg sederhana. Di tempat itu dulu Hasan belajar mengayuh sepeda, jatuh sayang perdana kali, & berpamitan ketika ia pergi jadi sopir. Kini, lampu jalan itu adalah satu-satunya saksi bisu dari sisa hidupnya yg sepi.
Hasan tidak butuh belas kasihan. Ia cuma butuh sepotong kedamaian. Setiap malam, saat orang lain tertidur, ia menenun kembali fragmen hidupnya yg berserakan, mencoba berdamai dengan masa lalu, & berharap bahwa ketika waktunya tiba, ia dapat pergi dengan tenang.
Suatu malam, lelaki itu tidak datang lagi.
Anak-anak muda yg biasa mengintip mulai bertanya-tanya. Beberapa warga pun menyadari kehilangannya. Salah satu dari mereka mencoba mencari tahu. Rumah sakit, dinas sosial, bahkan rumah tua itu digeledah. Tak ada jejak. Lelaki itu lenyap seperti embun pagi.
Namun lampu jalan di tikungan itu tetap menyala.
Kini, siapa pun yg melintas di tikungan itu, akan melihat bangku kecil yg dibiarkan kosong. Beberapa orang percaya, kalau anda duduk di sana diam-diam tengah malam, anda dapat mendengar suara napas berat, seperti seseorang yg duduk di sebelahmu. Atau bisikan lirih, Maafkan aku
Lelaki itu memang tak ada lagi. Tapi kenangannya tetap duduk di bawah cahaya redup lampu jalan. Seperti luka yg tak terlihat, tetapi sering terasa.