Langkah Kecil di Kota Besar
Di tengah gemerlap lampu kota Jakarta yg tak pernah benar-benar tidur, seorang pemuda bernama Damar melangkah perlahan di trotoar yg basah oleh gerimis. Jaket jeans tipis yg ia kenakan tidak cukup menghalau dharap malam, tetapi ia terus berjalan, menatap lurus ke depan seolah tahu persis ke mana arah tujuannya. Padahal, kenyataannya tidak demikian.
Damar baru saja menyelesaikan shift malamnya di sebuah minimarket 24 jam di kawasan Kuningan. Ia sudah bekerja di sana selama enam bulan terakhir, setelah memutuskan keluar dari kampung halamannya di Brebes dengan asa dapat “menemukan hidup yg lebih baik” di ibu kota. Nyatanya, hidup di Jakarta tidak semudah cerita yg ia dengar dari teman-teman lamanya.
Gaji pas-pasan, kos kecil yg pengap, & perut yg sering kali harus menahan lapar karena harus memilih antara makan malam atau menyimpan uang untuk ongkos bulan depan. Namun Damar tidak menyerah. Di sela-sela pekerjaannya, ia sering menyempatkan membaca buku-buku bekas dari pasar loak, & kadang-kadang ia menulis puisi atau cerita pendek di buku catatan kecil yg sudah usang di saku jaketnya.
“Kalau anda terus nulis, siapa tahu suatu hari dapat jadi penulis beneran,” mengatakan Bu Rina, pemilik warteg tempat Damar biasa makan.
Ia cuma tertawa waktu itu, tetapi diam-diam kata-kata itu tinggal di kepalanya. Setiap kali ia merasa dunia terlalu berat, ia menulis. Tentang apa sajatentang pelanggan menyebalkan yg marah karena diskon tak berlaku, tentang suara klakson malam hari, bahkan tentang aroma kopi sachet yg ia minum diam-diam di pojokan toko.
Suatu malam, Damar memberanikan diri mengirimkan salah satu ceritanya ke sebuah lomba menulis online. Cerita itu ia tulis saat hujan deras mengguyur kota & listrik mati selama dua jam. Judulnya Langkah Kecil di Kota Besar kisah fiksi tentang seorang pemuda yg merantau & belajar mengenali dirinya sendiri lewat keheningan kota yg sibuk. Ia tak berharap banyak, cuma harap tahu bagaimana rasanya “mengirimkan karyaku ke dunia luar”, katanya.
Beberapa pekan kemudian, saat sedang merapikan rak minuman, ponselnya bergetar. Pesan dari panitia lomba: **”Selamat, naskah Anda terpilih sebagai pemenang utama!”**
Damar terpaku. Ia membaca pesan itu tiga kali, takut kalau-kalau ia salah baca. Tapi tidak. Namanya ada di sana. Ia benar-benar menang.
Malam itu, untuk perdana kalinya, Damar berjalan pulang dengan senyuman yg tidak dibuat-buat. Langit masih kelabu, gerimis masih turun, & jalanan masih penuh kendaraan yg bising. Tapi malam itu berbeda. Di tangannya, buku catatan kecil itu terasa lebih ringanatau mungkin justru lebih berat oleh asa yg baru tumbuh.
Ia tahu perjuangannya belum selesai. Tapi kini, untuk perdana kalinya, ia percaya bahwa langkah kecilnyameski perlahansedang menuju ke tempat yg tepat.
—