Langkah ke Utara
Malam itu hujan turun deras membasahi aspal yg sudah retak-retak di sebuah kota kecil bernama Rawa Damar. Lampu jalan berkerlap-kerlip, beberapa padam, beberapa berpendar kuning suram. Di tengah lorong gang sempit, seorang pemuda bernama Raka berdiri memandangi langit sambil menggenggam tas ransel tuanya yg mulai usang. Ia baru saja keluar dari rumah kontrakan kecil yg sudah ia tinggali selama tiga tahun terakhir.
Raka adalah anak sulung dari tiga bersaudara. Sejak ayahnya meninggal karena serangan jantung, ia jadi tulang punggung keluarga. Ibunya cuma seorang buruh cuci di desa, & adik-adiknya masih sekolah. Raka bekerja sebagai penjaga gudang di sebuah toko bangunan, gaji pas-pasan, tetapi cukup untuk makan & kirim sedikit uang ke rumah.
Namun malam itu, ada yg berbeda.
Ia memutuskan untuk pergi. Bukan kabur, tetapi memulai sesuatu yg baru. Beberapa hari lalu, seorang teman lama menghubunginya lewat pesan singkat & mengajak bekerja di tempat jauh, di kota tambang di utara pulau. Gaji besar, kerja keras, & tidak semua orang berani. Tapi Raka merasa inilah saatnya. Bukan cuma demi dirinya sendiri, tetapi demi ibu & adik-adiknya.
Di terminal bus, ia duduk di bangku paling ujung, menunggu kendaraan malam menuju pelabuhan. Bus tua itu akhirnya datang dengan deru mesin berat. Raka naik, memilih kursi dekat jendela, & menyandarkan kepala pada kaca yg dharap. Hujan masih turun, & dunia di luar jendela tampak kabur seperti ingatannya tentang masa kecil.
—
Perjalanan memakan waktu dua hari. Ia harus menyeberang laut, lalu melanjutkan dengan mobil pickup ke letak tambang. Di sana, ia disambut oleh hamparan hutan yg sudah dibabat & suara mesin-mesin berat yg tidak pernah berhenti.
Hari-harinya berat. Ia harus bangun jam lima pagi, mengangkat alat berat, menggali tanah, & mencatat hasil tambang. Tapi, upahnya lumayan. Dalam sebulan, ia dapat mengirim uang dua kali lipat dari sebelumnya. Di sela-sela kerja, ia menulis surat kepada ibunya, menceritakan kehidupannya yg baru, kadang dengan jujur, kadang sedikit dilebihkan supaya sang ibu tidak khawatir.
Waktu berjalan. Tiga bulan, enam bulan, lalu setahun.
Raka mulai terbiasa dengan kehidupan keras di utara. Tubuhnya mengeras, kulitnya lebih gelap, & pikirannya lebih tenang. Ia tak lagi mudah marah seperti dulu. Ia belajar bertahan, bersyukur, & perlahan tumbuh jadi lelaki yg tangguh.
Suatu hari, ia menerima kabar bahwa adiknya lulus sekolah dengan nilai terbaik di kabupaten. Ibunya menangis bahagia lewat sambungan telepon. Raka cuma terdiam lama, lalu tertawa kecil.
Kerja kerasmu ada hasilnya, Nak, mengatakan ibunya. Ibu bangga.
Saat itulah Raka menyadari: hidup tidak pernah mudah, tetapi setiap langkah menuju ke utara sejauh apapun sering mengarah pulang.
—