Langit di Atas Lantai Dua
Lantai dua rumah sakit itu tidak pernah sepi. Di sanalah pasien-pasien dengan penyakit kronis dirawatbeberapa untuk waktu yg lama, beberapa cuma sebentar, sebelum akhirnya pulang atau pergi selamanya.
Di salah satu kamar itu, terbaring seorang remaja bernama Nara. Usianya baru tujuh belas tahun, tetapi tubuhnya sudah lemah karena penyakit lupus yg dideritanya sejak kecil. Setiap pagi, Nara duduk di ranjang dekat jendela, menatap langit yg berganti warna. Itu adalah jendela yg sama di mana ia menuliskan impian-impian kecil dengan embun: harap pergi ke pantai, harap naik kereta jarak jauh, harap makan ramen asli Jepang, harap melihat bintang jatuh.
Namun semua itu cuma sebatas tulisan, karena tubuhnya tak mengizinkan banyak hal. Ia jarang keluar dari lantai dua itu. Temannya cuma buku, perawat, & sesekali pengunjung yg lewat di lorong.
Hingga suatu hari datang seorang pemuda bernama Bima. Ia adalah relawan sosial dari komunitas seni kampusnya. Ia masuk ke kamar Nara sambil membawa ukulele, menyapa dengan senyum cerah yg seolah menabrak dharapnya udara rumah sakit.
Namamu siapa? tanya Bima.
Nara.
Boleh saya nyanyi?
Nara cuma mengangguk. Ia tak terbiasa dengan orang asing, apalagi yg terlalu semangat seperti Bima. Tapi suara Bima ternyata lembut, lagunya jenaka, & ada cara ia memainkan senar ukulele yg menciptakan waktu terasa lebih ringan.
Sejak hari itu, Bima sering datang. Ia membacakan puisi, menggambar, memainkan lagu, atau cuma duduk diam menemani Nara. Perlahan, Nara mulai terbuka. Ia mulai berceritatentang rasa lelahnya, tentang mimpinya yg tak sempat, tentang rasa takut ketika malam tiba & rasa sakit menyerang.
Bima mendengarkan semua itu. Tak sekali pun ia menyela, tak pernah ia berkata, Kamu harus semangat. Ia tahu, Nara tidak butuh disuruh kuat. Ia cuma butuh seseorang yg mengerti tanpa menuntut.
Suatu pagi, Nara menemukan kejutan di meja samping tempat tidurnya: sebuah miniatur pantai dari kardus & pasir, dengan bendera kecil bertuliskan: Pantai impian Nara. Di bawahnya tertulis, *Langit akan sering ada, bahkan ketika kaki kita belum dapat ke sana.*
Nara menangis. Untuk perdana kalinya sejak dirawat, ia merasa dilihatbukan sebagai pasien, tetapi sebagai manusia.
Namun waktu tidak menunggu siapa pun. Kondisi Nara makin memburuk. Dokter cuma dapat memberi kabar bahwa waktu Nara mungkin tidak lama lagi.
Bima tidak datang selama tiga hari. Nara merasa ada sesuatu yg hilang. Ternyata, Bima sedang mengurus sebuah eksibisi kecildi taman rumah sakit.
Saat sore menjelang, perawat mendorong kursi roda Nara keluar kamar, menuju taman. Di sana, sudah terpasang pentas sederhana, dihiasi lentera-lentera kertas, dengan tulisan besar:
**Langit di Atas Lantai Dua Sebuah Panggung Untuk Nara**
Bima naik ke atas panggung, membawakan lagu-lagu yg pernah mereka nyanyikan bersama. Mahasiswa lain ikut tampil, membaca puisi-puisi yg terinspirasi dari tulisan Nara. Semua orang di taman sore itu memberi tepuk tangan, bukan karena eksibisi hebat, tetapi karena sayang yg sederhana sudah menyentuh semua hati.
Nara cuma tersenyum, menatap langit yg mulai temaram. Hari itu ia tidak merasa seperti pasien. Ia merasa seperti bintang panggung.
Beberapa hari setelah eksibisi itu, Nara meninggal dunia. Ia pergi dengan tenang, ditemani surat kecil dari Bima:
> Nara,
>
> Terima kasih sudah mengajarku bahwa hidup bukan tentang seberapa lama kita berjalan, tetapi tentang seberapa dalam kita mensayangi setiap detiknya.
>
> Langit yg kau lihat dari lantai dua sekarang jadi lebih terang.
>
> Bima
—