Kursi Kosong di Ujung Meja
Setiap pagi, meja makan itu sering rapi. Ada empat kursi di sana, tiga terisi, satu kosongselalu kosong sejak tiga tahun lalu. Namanya **Alma**, seorang ibu rumah tangga berusia 45 tahun. Ia tinggal bersama suaminya, Damar, & anak sulungnya, Rega. Tapi tak ada pagi yg benar-benar lengkap tanpa **Rani**, anak bungsunya yg menghilang sejak umur 17 tahun.
Tak ada surat. Tak ada pesan. Hanya jejak jejak sunyi yg ditinggalkan di kamar kecilnyalukisan setengah jadi, novel yg belum selesai, & kalimat terakhir yg tertinggal di dinding, ditulis dengan spidol hitam:
> Aku harus pergi, karena saya tak dapat bernapas di sini.
—
Alma menyalahkan dirinya sendiri. Setiap hari. Setiap jam. Setiap detik. Ia bertanya dalam hati, *”Apakah saya terlalu menekan dia? Apakah saya tak mendengar cukup baik? Apakah saya terlalu sibuk menuntut dia jadi anak yg sempurna seperti kakaknya?”*
Rega, sang kakak, adalah anak kebanggaan. Rangking satu, kuliah kedokteran, berprestasi, bertanggung jawab. Tapi terlalu sempurna untuk Rani yg sensitif, penuh imajinasi, & suka menyendiri. Rani lebih suka menggambar, mendengarkan musik, & menulis puisi. Tapi Alma tak pernah menganggap itu sebagai “masa depan.”
> Mau jadi apa anda kalau cuma dapat gambar & nulis-nulis galau?
> Lihat Rega, dia tahu apa yg dia mau. Kamu harus kayak gitu.
Kata-kata itu menghantui Alma. Mungkin itulah yg menciptakan Rani pergi.
—
Tiga tahun berlalu. Alma masih menyiapkan sarapan untuk empat orang. Ia masih meletakkan piring keempat di depan kursi kosong. Damar sudah letih menasihati.
> Sudahlah, Ma. Kita sudah cari ke mana-mana. Polisi pun tidak dapat petunjuk. Kita harus menerima…
> Bagaimana saya dapat menerima kalau hatiku bilang dia masih hidup?
Damar terdiam. Dia harap berkata bahwa Alma cuma berpegang pada asa kosong, tetapi ia tak tega. Sebab di dalam dirinya pun ada bagian kecil yg juga belum dapat melepaskan.
—
Suatu sore, saat Alma membuka email lamanya yg jarang dibuka, ia melihat satu pesan yg masuk, dikirim dua hari sebelumnya. Pengirimnya tak dikenal, tetapi judulnya menciptakan dadanya sesak:
**Untuk Mama, dari Rani.**
Dengan tangan gemetar, ia membuka pesan itu.
> *Ma, saya butuh waktu untuk sembuh. Aku tidak pergi karena benci, tetapi karena saya harap menyelamatkan diriku. Aku merasa tenggelam di rumah. Semua orang menuntut saya jadi orang lain. Aku tahu Mama sayang aku, tetapi cara Mama mensayangi terlalu sempit buat saya bernafas. Tapi saya nggak hilang. Aku hidup. Aku melukis sekarang, saya ikut komunitas seni. Kadang saya jual hasil karyaku. Aku belajar mengasihi diriku. Mungkin suatu hari nanti saya akan pulang. Tapi bukan sekarang. Peluk Rega buat aku. Maaf karena saya masih belum sanggup bicara langsung. Tapi saya sedang menuju ke sana. Terima kasih sudah tetap menaruh piring keempat di meja. Aku tahu itu.*
> *- Rani*
Air mata Alma jatuh membasahi layar ponselnya. Untuk perdana kalinya setelah tiga tahun, ia menangis bukan karena kehilangan, tetapi karena sebuah harapan.
—
Malam itu, Alma duduk di kursi kosong itu. Ia menatap piring yg masih kosong, lalu berkata lirih:
> Terima kasih masih hidup, Nak… Mama akan belajar mensayangimu seperti anda apa adanya.
—
Sejak malam itu, meja makan itu tak lagi sunyi. Bukan karena Rani sudah pulang, tetapi karena luka yg lama membeku mulai mencair perlahan. Alma belajar tersenyum lebih lembut, berbicara lebih pelan, & mensayangi dengan cara yg lebih luas.
Ia tahu, suatu hari nanti, kursi itu akan terisi kembali. Tapi sebelum itu terjadi, ia harus menyembuhkan rumah mereka lebih dulu.
—
### Pesan Cerita:
> Kadang yg kita butuhkan bukan rumah yg megah, bukan orang tua yg sempurna, tetapi **tempat untuk bernapas & didengar apa adanya**.
> Cinta tanpa pengertian dapat terasa seperti penjara. Tapi sayang yg tumbuh dari pengakuan luka, dapat jadi jembatan untuk pulang.
—