Kriptografi Kolonial dalam Budaya Jawa
Mari kita mulai dengan beskap, pakaian yg dianggap “asli Jawa” namun pada dasarnya adalah adopsi dari jas Eropa era kolonial. Kata ini berakar dari bahasa Belandabeschaf, yg berarti “rapi, teratur, sopan”, & sekaligus mengingatkan pada buisjas, jas formal Eropa dengan kancing rapat & kerah tinggi. Beskap bukan lahir dari tanah Jawa yg tropis, tetapi dari Eropa yg dharap, dibawa masuk bersama tata cara perjamuan kolonial. Ia bukan sekadar pakaian, melainkan simbol internalisasi kekuasaan: tubuh Jawa dipaksa masuk ke dalam cetakan Eropa, dilapisi lapisan formalitas yg tidak lahir dari kearifan lokal, melainkan dari desain kolonial yg mengatur siapa boleh berdiri, duduk, atau berbicara di hadapan siapa. Beskap, dengan mengatakan lain, adalah buisjas yg disamarkan oleh lidah Jawa, lalu dibudidayakan sebagai “warisan budaya” tanpa disadari.
Blangkon, kalau dibaca lewat pendekatan kriptografi, menawarkan lapisan makna yg lebih gelap. Fonetiknya,blankon, adalah kode paling terang: ruang kosong yg dinyalakan, halaman putih yg siap ditulisi. Blangkon dipasang di kepala, pusat pencerahan & ingatan. Lipatannya yg simetris, ketat, & mengurung rambut, menyimbolkan kepala yg direset, dikosongkan, lalu diprogram ulang oleh kekuasaan kolonial. Kolonialisme Belanda tidak cuma menanam blangkon sebagai atribut bangsawan, tetapi juga sebagai “chip budaya,” sebuah antena simbolik untuk mengendalikan gestur, posisi, bahkan cara berpikir. Kepala dikosongkan(blank), lalu diaktifkan(on).
Bergeser ke keris, simbol maskulinitas Jawa yg diagungkan. Kata “keris” tidak perlu jauh-jauh dibongkar: ia nyaris identik dengan kataChrist. Lebih dari itu, bentuk keris dengan lekukannya, bila diputar atau dilihat dari sudut tertentu, menyerupai siluet salib. Di sinilah kriptografi bekerja lebih subtil: keris bukan cuma senjata, tetapi sebuah ikon religius yg sudah di-Jawa-kan, disamarkan sebagai benda pusaka lokal. Leluhur yg katanya sakti, roh leluhur yg katanya bersemayam di bilahnya, hanyalah perpanjangan narasi kolonial yg meresap, mengikat, lalu membentuk pencerahan kolektif.
Batik pun tidak luput dari jaringan kode ini. Secara fonetik, batik sangat dekat denganboutique, istilah Eropa yg merujuk pada eksklusivitas & kurasi barang mewah. Batik, yg kini diagungkan sebagai simbol keagungan budaya, awalnya diproduksi, diklasifikasi, & dipasarkan melalui prosedur kolonial yg serupa dengan butik di Eropa: eksklusif, terkontrol, & dibentuk untuk memenuhi selera kekuasaan. Tiap motif batik bukan cuma estetika, tetapi juga katalog kode sosial: siapa boleh memakai motif parang, siapa harus puas dengan kawung, siapa dilarang mengenakan motif tertentu.
Lurik, kain bergaris sederhana, tak kalah menarik. Kata lurik kalau dilacak secara kriptografis menyerupai katalyricdalam bahasa Inggris. Lurik, seperti lirik lagu, adalah pola yg berulang, teratur, & penuh ritme — sebuah seragam visual yg menandai keteraturan, penjinakan, & kepatuhan. Garis-garis lurik, tipis & lurus, membentuk penjara simbolik bagi tubuh yg mengenakannya. Bukankah seragam tahanan di Eropa zaman ke-18 juga berwarna garis-garis? Simbol keterikatan, kedisiplinan, & kontrol — tetapi dibungkus dalam narasi kesederhanaan & kebersahajaan.
Gamelan, instrumen kebanggaan Jawa, menyembunyikan kode yg tak kalah kuat. Bacalah mengatakan itu dengan telinga kolonial:game plan. Ia adalah rencana permainan, skema tersembunyi. Nada-nada gamelan, dengan harmoni yg repetitif & struktur teratur, bekerja sebagai algoritma auditori. Kolonialisme memahami kekuatan musik sebagai alat kontrol: repetisi yg membentuk ritme sosial, melatih tubuh untuk bergerak serentak, & menundukkan kebisingan ke dalam keteraturan. Gamelan adalahgame planyang dimainkan berulang-ulang, mengajarkan kepatuhan dalam harmoni.
Tradisi siraman, atau mandi ritual sebelum pernikahan, juga dapat dibaca sebagai rekayasa kolonial. Siraman, bila dilihat dari kacamata kriptografi, menyerupai praktik baptis falam gereja. Air suci, doa, penyucian tubuh: semuanya berasal dari narasi religius yg diperkenalkan melalui misi kolonial. Bahkan bahasa yg dipakai dalam ritual ini sering diselipi doa atau mantra yg menggabungkan unsur Jawa, Islam, & Kristen — bukti bahwa kolonialisme bekerja bukan dengan menghapus, tetapi dengan menggabungkan, menyamarkan, & menyisipkan kode baru di dalam struktur lama.
Bahasa & aksara Jawa sendiri tak luput dari pembacaan ini. Penulisan aksara yg melengkung, berornamen, & penuh estetika, adalah representasi visual dari sistem kontrol. Aksara ini mengikat pikiran ke dalam bentuk tertentu, menjinakkan kata-kata ke dalam pola estetis yg cuma dapat diakses oleh mereka yg memiliki otoritas untuk membaca & menulisnya. Aksara ini bukan sekadar medium komunikasi, melainkan enkripsi sosial — alat untuk membedakan yg tahu dari yg awam, yg berhak dari yg tak berhak.
Membaca budaya Jawa sebagai kriptografi kolonial bukan upaya untuk merendahkan, melainkan untuk menyingkap. Untuk melihat bagaimana kekuasaan bekerja tidak cuma melalui kekerasan atau hukum, tetapi melalui simbol, bahasa, & estetika. Tradisi yg kita anggap murni ternyata adalah jaringan kode yg dibangun, dipelihara, & diulang untuk menjaga tatanan kolonial tetap hidup, bahkan setelah kolonialisme formal berakhir.
Dan kini, ketika blangkon kembali dipromosikan sebagai identitas, ketika keris dilelang dengan harga selangit, ketika gamelan dipentaskan di pusat kebudayaan, & batik dirayakan dicatwalkinternasional, kita tak lebih dari aktor yg mengulang naskah lama. Program lama yg tak pernah kita tulis, tetapi kita rawat dengan bangga. Barangkali, budaya ini tidak pernah benar-benar jadi milik kita. Ia hanyalah algoritma yg bekerja tanpa henti, mencetak ulang memori kolektif, menjadikan kita penafsir loyal dari sandi yg belum sepenuhnya kita pahami.
Mungkin suatu hari nanti, kita akan membaca seluruh ini dengan mata yg lebih jernih, melihat bahwa di balik lipatan kain, denting gamelan, & ukiran keris, Jawa tidak sedang menatap dirinya sendiri. Jawa sedang menatap balik ke arah kolonialisme — ke arah sandi lama yg terus hidup, menunggu kita memecahkannya, atau mungkin, menunggu kita berhenti percaya bahwa ia hanyalah budaya.