Kekalahan Bahasa Indonesia di Tengah Dominasi Bahasa Asing: Dampak & Solusi
Lalu, mengapa bahasa Indonesia dianggap kalah prestise dibandingkan bahasa asing? Salah satu penyebab utamanya adalah persepsi bahwa bahasa asing lebih modern & berkelas, khususnya di kalangan generasi muda yg terpapar budaya populer Barat melalui media sosial & hiburan (Alwasilah, 2012). Selain itu, sistem pendidikan & lingkungan kerja seringkali lebih menghargai kemampuan berbahasa Inggris daripada penguasaan bahasa Indonesia yg baik & benar.
Dampak dari fenomena ini tidak dapat dianggap sepele. Jika terus dibiarkan, lambat laun bahasa Indonesia dapat kehilangan fungsinya sebagai pemersatu bangsa & jadi sekadar bahasa kedua di negeri sendiri. Artikel ini akan membahas akibat serius dari melemahnya penggunaan bahasa Indonesia serta strategi untuk mengembalikan martabatnya di mata generasi muda.
Dampak Melemahnya Penggunaan Bahasa Indonesia
Dominasi bahasa asing tidak cuma sekadar menggeser kebiasaan berbahasa, tetapi juga membawa akibat serius kepada bukti diri budaya & daya saing bangsa. Pertama,hilangnya kesayangan kepada bahasa Indonesiadapat melemahkan rasa nasionalisme, khususnya pada generasi muda. Bahasa adalah salah satu pilar utama bukti diri suatu bangsa (Fishman, 1972), & ketika bahasa Indonesia semakin jarang dipakai dalam percakapan formal maupun informal, ikatan kebangsaan pun dapat terkikis.
Kedua,kesenjangan sosial & linguistiksemakin melebar. Masyarakat yg fasih berbahasa asing seringkali dianggap lebih terpelajar, sementara mereka yg cuma menguasai bahasa Indonesia terkadang dipandang kurang kompeten. Hal ini menciptakan ketimpangan dalam dunia pendidikan & pekerjaan, di mana kemampuan berbahasa Inggris jadi syarat utama, meskipun pekerjaan tersebut sebenarnya tidak memerlukannya (Lauder, 2008).
Terakhir,ancaman kepada bahasa daerahjuga semakin nyata. Jika bahasa Indonesia saja kalah bersaing dengan bahasa asing, bagaimana dengan ratusan bahasa daerah yg sudah terancam punah? UNESCO mencatat bahwa Indonesia termasuk negara dengan tingkat kepunahan bahasa daerah yg tinggi, & melemahnya posisi bahasa Indonesia cuma akan memperburuk keadaan ini (UNESCO Atlas of the Worlds Languages in Danger, 2010).
Upaya Mengembalikan Martabat Bahasa Indonesia
Lalu, bagaimana cara mengatasi masalah ini?
Pertama, pendidikan bahasa Indonesia harus diperkuatsejak dini. Kurikulum sekolah perlu menekankan pentingnya menguasai bahasa Indonesia dengan baik & benar sebelum mempelajari bahasa asing. Menurut penelitian Mustakim (2015), pembelajaran bahasa Indonesia yg kreatif & kontekstualseperti melalui diskusi, debat, atau penulisan kreatifdapat meningkatkan minat siswa kepada bahasa nasional. Guru juga berperan penting dalam menanamkan kebanggaan berbahasa Indonesia tanpa mengesampingkan pentingnya bahasa asing.
Kedua, pemerintah & media massa harus aktif mempromosikan penggunaan bahasa Indonesia.Kebijakan seperti wajib berbahasa Indonesia di ruang publik, acara televisi, & iklan dapat menolong mengembalikan kewibawaan bahasa nasional. Media sosial juga dapat jadi alat ampuh untuk kampanye kreatif, misalnya dengan tantangan #BanggaBerbahasaIndonesia atau konten edukatif yg menunjukkan keunikan & kekayaan kosakata bahasa Indonesia (Kemdikbud, 2021).
Ketiga, meningkatkan literasi masyarakat.Rendahnya minat baca & kurangnya apresiasi kepada sastra Indonesia turut memperparah masalah ini. Membiasakan diri membaca buku, cerpen, atau puisi dalam bahasa Indonesia dapat memperkaya kosa mengatakan & menumbuhkan kesayangan kepada bahasa sendiri. Perpustakaan & komunitas literasi perlu didorong untuk menyelenggarakan kegiatan yg mendorong penggunaan bahasa Indonesia secara kreatif (Sugono, 2009).
Peran Generasi Muda dalam Melestarikan Bahasa Indonesia
Generasi muda sebagai ujung tombak perubahan memiliki peran krusial dalam mengembalikan kejayaan bahasa Indonesia.Pertama, mereka dapat jadi trendsetterdengan mengpakai bahasa Indonesia secara kreatif di media sosial. Konten-konten menarik seperti meme, thread Twitter, atau video TikTok yg memadukan bahasa Indonesia dengan gaya kekinian justru dapat menciptakan bahasa nasional terlihat lebih “keren” tanpa harus tergusur oleh bahasa asing. Studi dari Nurudin (2020) menunjukkan bahwa bahasa gaul anak muda sebenarnya dapat jadi jembatan untuk mempertahankan eksistensi bahasa Indonesia, asalkan dipakai dalam konteks yg tepat.
Kedua, generasi muda perlu kritis kepada penggunaan bahasa asing yg berlebihan.Misalnya, menolak anggapan bahwa produk atau layanan berlabel bahasa Inggris sering lebih berkualitas. Gerakan semacam #PakaiBahasaIndonesia yg diusung komunitas muda di berbagai kampus sudah membuktikan bahwa pencerahan akan pentingnya bahasa nasional dapat tumbuh melalui aksi-aksi sederhana namun konsisten (Firmansyah, 2022).
Terakhir, kolaborasi antara anak muda, akademisi, & praktisi bahasaharus diperkuat. Pembentukan komunitas-komunitas pesayang bahasa Indonesia, workshop penulisan kreatif, atau even lomba debat dalam bahasa Indonesia dapat jadi wadah untuk mengekspresikan kebanggaan berbahasa nasional. Seperti dikemukakan oleh Kushartanti (2018), revitalisasi bahasa membutuhkan keterlibatan semua pihak, khususnya generasi muda yg paling banyak berinteraksi di dunia digital.
Bahasa Indonesia adalah Identitas yg Harus Dipertahankan
Dominasi bahasa asing dalam kehidupan sehari-hari memang tidak dapat dihindari di era globalisasi, tetapi bukan berarti kita harus menyerah & membiarkan bahasa Indonesia tergusur. Sebagai bahasa pemersatu bangsa, bahasa Indonesia bukan sekadar alat komunikasi, melainkanwarisan budaya yg mencerminkan jati diri bangsa(Halim, 2016). Jika kita kehilangan bahasa nasional, kita juga kehilangan beberapa bukti diri kebangsaan kita.
Upaya melestarikan bahasa Indonesia harus dilakukan secarakomprehensif & berkelanjutan, mulai dari pendidikan formal, kebijakan pemerintah, peran media, hingga pencerahan individu. Setiap warga negara, khususnya generasi muda, perlu bangga mengpakai bahasa Indonesia dengan baik & benar tanpa merasa ketinggalan zaman. Seperti yg dikemukakan oleh Alisjahbana (1984),”Bahasa yg kuat mencerminkan bangsa yg kuat”artinya, mempertahankan bahasa Indonesia sama dengan mempertahankan kedaulatan bangsa di tengah arus globalisasi.
Mari kita mulai dari hal sederhana:pakai bahasa Indonesia secara kreatif di media sosial, biasakan membaca karya sastra Indonesia, & kritis kepada pemakaian bahasa asing yg tidak perlu. Dengan begitu, kita bukan cuma jadi penonton, tetapi pelaku aktif dalam melestarikan bahasa nasional. Bagaimana pendapat Anda? Yuk, share pengalaman Anda dalam menjaga eksistensi bahasa Indonesia di kolom komentar!
Artikel selesai. Terima kasih sudah membaca! Jangan lupa share untuk menyebarkan semangat sayang bahasa Indonesia.
REFERENSI:
Alisjahbana, S. T. (1984).Perjuangan & Perkembangan Bahasa Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat.
Alwasilah, A. C. (2012).Pokoknya Sunda: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Kiblat Buku Utama.
Firmansyah, R. (2022).Gerakan Literasi Digital: Strategi Anak Muda Mempertahankan Bahasa Indonesia. Bandung: Pustaka Setia.
Fishman, J. A. (1972).The Sociology of Language: An Interdisciplinary Social Science Approach to Language in Society. Rowley, MA: Newbury House.
Halim, A. (2016).Bahasa Indonesia: Pemersatu Bangsa. Jakarta: Balai Pustaka.
Kemdikbud. (2019).Survei Penggunaan Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Muda. Jakarta: Pusat Bahasa & Budaya.
Kemdikbud. (2021).Pedoman Pelindungan & Pengutamaan Bahasa Indonesia di Ruang Publik. Jakarta: Badan Pengembangan Bahasa & Perbukuan.
Kushartanti. (2018).Pemertahanan Bahasa dalam Era Globalisasi. Jakarta: UI Publishing.
Lauder, A. (2008).The Status and Function of English in Indonesia: A Review of Key Factors. Makara, Sosial Humaniora, 12(1), 9-20.
Mustakim, B. (2015).Efektivitas Pembelajaran Bahasa Indonesia dalam Kurikulum 2013. Jakarta: Pusat Pembinaan Bahasa.
Nurudin. (2020).Bahasa Gaul & Eksistensi Bahasa Indonesia di Kalangan Generasi Z. Jurnal Linguistik Indonesia, 38(1), 45-60.
Sugono, D. (2009).Berbahasa Indonesia dengan Benar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
UNESCO. (2010).Atlas of the World’s Languages in Danger. Paris: UNESCO Publishing.