Kang Dedi Mulyadi Kagumi Toleransi di Dusun Susuru
Kang Dedi Mulyadi Kagumi Toleransi di Dusun Susuru
Gubernur Jawa Barat kagum banget dengan toleransi yg ada di dusun Susuru, Kertajaya, Panawangan, Ciamis. Di dusun itu, semua penganut agama dihormati, termasuk agama lokal Sunda Wiwitan. Ini dia hinggakan dalam kanal youtube Kang Dedi Mulyadi Channel. Dia cerita, sebelumnya dia habis mengundang para siswa & pihak sekolah SMP Negeri 1 Panawangan.
Dari percakapannya dengan anak-anak sekolah itu, dia dapetin fakta ternyata kalau agama siswa di SMP itu berbeda-beda. Yang luar biasa, mereka tetap dapat hidup berdampingan, termasuk dengan para penganut Sunda Wiwitan. Hidup berdampingan kan, nggak ada problem kan? tanya Dedi kepada salah satu siswa bernama Adit, yg menganut Sunda Wiwitan. Iya enggak ada, jawab Adit.
Kang Dedi kemudian cerita kalau di kampung Susuru selain ada masjid, juga gereja, & penganut Sunda Wiwitan. Cuma emang penganut Sunda Wiwitan gak punya tempat ibadah, karena kan mereka tempat ibadahnya semesta, mengatakan Dedi. Kang Dedi juga berbicara soal hak penganut Sunda Wiwitan di podcast Akbar Faisal pada 28 November 2024 lalu. Menurut Kang Dedi sendiri, Sunda Wiwitan sebenarnya bukan agama, tetapi kalau beberapa menjadikannya agama itu sih sah-sah saja. Menurutnya itu hak warga yg sama-sama harus kita hormati.
FYI, Sunda Wiwitan adalah agama lokal yg dianut masyarakat Sunda, yg hidup di Jawa Barat. Itu adalah sistem spiritual asli masyarakat Sunda yg udah ada jauh sebelum masuknya Hindu-Buddha & Islam. Sunda Wiwitan ini agama leluhur yg nggak lahir dari tokoh kenabian atau wahyu kitab. Melainkan dari sikap kejiwaan intuitif dari batin kepada alam, leluhur, & kehidupan. Dewi Kanti, pendamping komunitas Sunda Wiwitan bilang Tuhannya orang Sunda itu disebut Sang Hyang Tunggal.
Dalam konsep ketuhanan Sunda Wiwitan, Tuhan tidak dapat diwujudkan dengan apapun tetapi menyatu dengan ciptaan-Nya. Kalau di dalam bahasa Sunda ada istilah Bukan migusti atau menuhankan tetapi menghormati. Jadi ketika kita mengerjakan penghormatan kepada semesta, kita bukan menuhankan batu atau gunung atau semesta, tetapi kita percaya di tiap ciptaan Yang Maha Kuasa itu ada tunggal agung, mengatakan Dewi.
Masalah dimulai ketika Indonesia berupaya membentuk bukti diri nasional. Ada paham agama harus sistematis, punya kitab suci, nabi, tempat ibadah, & struktur hierarki formal. Maka lahirlah keputusan cuma 6 agama yg diakui negara yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu. Konsekuensinya? Sunda Wiwitan & penghayat kepercayaan lain tidak diakui sebagai agama.
Para penganut Sunda Wiwitan & kepercayaan lain harus memilih antara berbohong demi sistem atau jujur tetapi nggak punya hak. Bagi mereka yg tetap teguh memegang bukti diri agama lokal, mereka akan mengalami diskriminasi. Mulai dari nggak dapat mengakses perkawinan yg dicatat negara, nggak dapat ngisi kolom agama pas sekolah & banyak lainnya. Diskriminasi juga dilakukan oleh masyarakat. Anak-anak penganut Sunda Wiwitan sering dipinggirkan, baik oleh sesama temen bahkan gurunya sendiri.
Baru belakangan hak-hak penganut Sunda Wiwitan & agama lokal lainnya mulai diakui. Semoga ke depan gak ada lagi kelompok agama yg didiskriminasi. Yukk gaungkan terus toleransi!
https://gerakanpis.id/kang-dedi-muly…-dusun-susuru/