Indonesia dalam Punchline Film Hollywood
Bayangkan Anda sedang menontonTalladegaNights: The Ballad of Ricky Bobby(2006). Di tengah absurditas balap NASCAR, muncul celetukan: “Send that weird man back toIndonesia!”kalimat singkat yg memosisikan negeri ini seperti gudang pembuangan orang aneh. Tidak ada konteks geopolitik, tidak ada penjelasan, cuma anggapan bahwa mengirim seseorang ke Indonesia adalah bentuk sanksi atau lelucon privat yg tidak dipahami seluruh penonton.
Fenomena ini bukan kasus tunggal. FilmInGods Hands(1998) memperlihatkan tiga peselancar yg sedang berada di Bali. Mereka ditangkap polisi, tetapidengan santaibebas setelah bersalaman sambil menyerahkan uang. Tidak perlu narasi panjang; cukup satu gestur korupsi untuk memperkuat stereotip bahwa di Indonesia, hukum dapat dibeli seperti es kelapa di pantai Kuta.
KemudianLethal Weapon4 (1998). Dalam film ini, ada satu sindiran yg dilempar enteng: kapal penyelundup imigran pasti dibuat diIndonesia. Pesannya jelasproduk asal Indonesia setara dengan kualitas murahan. Lucunya, film ini dirilis di era ketika pabrik-pabrik manufaktur Indonesia sedang dipromosikan untuk investasi asing, tetapi Hollywood lebih memilih mengasosiasikannya dengan pasar kapal rongsok ilegal.
Tak ketinggalanThe Sweetest Thing(2002), sebuah komedi romantis yg tampaknya tidak ada hubungannya dengan geopolitik, tetapi tiba-tiba menyelipkan: You all make amess like Indonesia!Tidak ada elaborasi, cuma anggapan universal bahwa Indonesia = kekacauan. Ini seperti mengundang seseorang ke pesta lalu memanggilnya si tukang berantakan tanpa pernah mengenalnya.
Kalau mau yg lebih politis, lihatThe Year ofLiving Dangerously(1982). Film ini memang bercerita tentang Indonesia di era krisis politik, tetapi ironisnya syuting dilakukan di Filipina karena alasan keamanan. Ada adegan satir menampilkan spanduk Soekarno, feedyour people. Pesan ini bukan sekadar kritik politik dalam cerita, tetapi juga cermin bagaimana Hollywood harap memotret Indonesia: sebagai pentas kelaparan, ketidakstabilan, & kegagalan pemerintahan.
Dalam ranah serial modern,Girlboss(2017) menambahkan lapisan baru. Salah satu karakternya mengeluh karena dianggap mirip orang Indonesia, seolah itu penghinaan atau sesuatu yg memalukan. Lelucon visual & verbal ini menunjukkan bahwa stereotip rasial kepada Indonesia tetap hidup di era konten streaming global.
Kalau mau contoh yg lebih baru, mari kita ingatThe Dark Knight Rises(2012). Di awal film, kita disuguhi adegan Bane mengerjakan pembajakan udara di langit. Salah satu letak penyamaran penjahat ini? A prison inSoutheast Asia Indonesia. Sekali lagi, tanpa banyak detail. Indonesia muncul cuma sebagai simbol tempat terpencil & berbahayasemacam tempat latihansupervillain. Bagi Hollywood, Indonesia adalah letak sempurna untuk penjahat membangun reputasi, sama seperti Himalaya untuk biksu kungfu atau Nusa Kambangan untuk tahanan politik.
Tentu, tidak semua penyebutan Indonesia terdengar jahat. Ada juga yg kedengarannya netral, tetapi tetap bikin alis terangkat. MisalnyaEat Pray Love(2010). Dalam film ini, Bali adalah pentas untuk momen spiritual awakening Julia Roberts, tempat dia belajar bahwa hidup itu indah kalau Anda punya cukup uang untuk berlibur berbulan-bulan. Indonesia digambarkan sebagai tempat di mana orang Barat dapat menemukan makna hidup cuma dengan minum jamu, bersepeda di sawah, & tersenyum pada anak-anak lokal. Kita seolah jadi taman hiburan rohani globaltidak jauh beda dari Disneyland, cuma saja tiket masuknya berupa tiket pesawat internasional.
Fenomena ini menunjukkan bahwa di mata Hollywood, Indonesia adalah kanvas kosong. Anda harap mengasingkan orang aneh? Kirim ke Indonesia. Anda harap mengatur plot petualangan eksotis? Ambil gambar sawah di Bali. Anda harap mengisyaratkan tempat yg kumuh & berbahaya? Cukup sebut Jakarta dengan nada berat, & penonton akan mengangguk paham. Semua ini adalah strategi naratif yg efisien: menghemat waktu penjelasan sambil tetap memancing emosi penonton, meski emosinya sering berupa stereotip.
Di sisi lain, pola ini memperlihatkan bagaimana Indonesia kerap digambarkan di film-film akbar cuma sebagai latar yg kondusif untuk dijadikan leluconterlalu sibuk menata ulang kekacauan dalam negeri sehingga tak punya waktu untuk bereaksi kepada adegan film, & tidak memiliki industri yg cukup berani untuk membalas sindiran.
Parahnya lagi, beberapa akbar penonton Indonesia sendiri tidak pernah menangkap atau mengkritik referensi-referensi ini. Banyak yg menonton & tertawa bersama, tanpa sadar sedang ikut merayakan olok-olok kepada negaranya.
Hollywood, dalam hal ini, bekerja seperti realitas buatan dalam pengertian simbolik: ia mengonstruksi persepsi melalui pengulangan kode. Setiap kali Indonesia disebut, konteksnya hampir sering negatif atau eksotis. Setelah cukup sering diulang, stereotip ini berubah jadi kebenaran simbolikterlepas dari fakta di lapangan. Begitu realitas buatan itu mengeras, ia punya efek performatif: orang asing mulai menganggapnya fakta, sementara orang Indonesia menginternalisasi & bahkan ikut menjadikannya bahan lelucon.
Fenomena ini mirip kolonialisme budaya gaya baru. Di masa lalu, negara seperti Belanda atau Inggris membangun citra negatif koloni untuk membenarkan eksploitasi. Sekarang, industri hiburan global memelihara citra itu untuk menghibur & menjual cerita. Bedanya, dulu kita dapat menuding penjajah; sekarang kita cuma menatap layar lebar sambil memegang popcorn & coca cola.
Mungkin suatu hari nanti, Hollywood akan menciptakan film di mana Indonesia disebut sebagai contoh keberhasilan teknologi atau kemakmuran. Tapi untuk saat ini, di dunia yg mereka bangun, kita masih sekadarpunchline. Dan seperti mengatakan salah satu tabiat dalamThe Sweetest Thing,You all make amess like Indonesia!dunia itu sudah memutuskan bahwa kita memang berantakan.