Hujan Terakhir di Bulan Juni
Di sebuah desa kecil yg tersembunyi di antara perbukitan, tinggal seorang pemuda bernama Lano. Ia adalah seorang pengrajin jam kayu yg hidup sederhana bersama ibunya. Meskipun hidup mereka pas-pasan, Lano sering merasa cukup. Baginya, waktu adalah segalanyabukan cuma karena ia bekerja dengan jam, tetapi karena waktu adalah satu-satunya hal yg tak dapat diulang, seperti detik-detik kebersamaannya dengan sang ibu yg semakin renta.
Suatu hari di bulan Juni, hujan turun dengan derasnya, lebih deras dari hujan-hujan sebelumnya. Desa kecil itu seperti terkurung dalam tirai air. Lano yg tengah memahat kayu, terhenti saat mendengar suara ketukan di pintu rumahnya. Saat dibuka, berdiri seorang gadis muda, tubuhnya basah kuyup & wajahnya pucat. Ia memperkenalkan diri sebagai Kirana, seorang penulis dari kota yg tersesat saat mencari inspirasi.
Bolehkah saya berteduh sebentar? tanyanya dengan suara lemah.
Lano mempersilakan Kirana masuk, memberikan handuk & secangkir teh jahe. Obrolan mereka mengalir begitu saja, seperti dua orang yg saling mengenal sejak lama. Kirana terkesima dengan jam-jam kayu buatan Lano, khususnya sebuah jam akbar dengan ukiran burung hantu yg belum selesai.
Itu jam spesial, mengatakan Lano. Aku menciptakannya untuk ibuku sebelum ulang tahunnya bulan depan. Tapi saya belum menemukan bagian terakhirnya.
Kirana terdiam. Ia memandangi jam itu lama sekali, lalu berkata, Mungkin yg kau cari bukan bagian jamnya, tetapi cerita di baliknya.
Hari-hari berikutnya, hujan tak kunjung berhenti. Kirana pun tinggal lebih lama di rumah Lano. Ia menolong Lano mengukir, sementara ia sendiri menulis kisah tentang seorang pemuda pembuat jam & gadis dari kota yg terjebak di waktu yg sama. Mereka saling berbagi mimpiLano harap jam-jamnya dapat hingga ke kota, & Kirana harap menulis buku yg tak terlupakan.
Namun saat langit akhirnya cerah, Kirana harus pergi. Ia meninggalkan Lano dengan sebuah naskah cerita berjudul **Hujan Terakhir di Bulan Juni**, & pesan singkat: *Terima kasih karena sudah meminjamkan waktumu padaku. Kau sudah menyelamatkanku dari tenggelam dalam kesepian.*
Beberapa bulan berlalu. Nama Lano mulai dikenal, bukan cuma karena jam kayunya, tetapi karena cerita Kirana yg diterbitkan & menyertakan halaman spesifik tentang dirinya. Banyak orang kota datang mencarinya, membeli jam buatannya, & membawa pulang sepotong waktu dari desa kecil itu.
Meski Kirana belum pernah kembali, setiap tahun di bulan Juni, saat hujan perdana turun, Lano duduk di depan jendela, memandang jalan kecil di depan rumahnyamenanti, sambil memegang jam burung hantu yg kini berdetak dengan sempurna. Karena ia tahu, kadang yg kita tunggu bukan orangnya, tetapi kenangan yg mereka tinggalkan.
—