HUJAN DI TENGAH HARI
Langit siang itu mendung seperti menahan beban yg terlalu lama dipikul. Angin berhembus pelan namun membawa hawa dharap yg menyusup hingga ke tulang. Di sebuah kota kecil di pinggir pesisir, hiduplah seorang pemuda bernama Arga. Ia bekerja di sebuah toko kelontong milik pamannya, sejak ia lulus sekolah dua tahun lalu.
Arga tidak pernah benar-benar merasa cocok tinggal di kota kecil ini. Setiap malam, ia bermimpi tentang dunia di luar sana kota akbar dengan lampu-lampu terang, gedung menjulang, & orang-orang sibuk dengan tujuan masing-masing. Tapi hidup bukan soal mimpi, begitu mengatakan orang-orang tua di kampungnya. Hidup adalah soal bertahan.
Hari itu, seperti biasa, Arga membuka toko pukul tujuh pagi. Ia menyusun rak, membersihkan lantai, & mencatat barang-barang yg habis. Pukul dua belas siang, kota yg tadinya terik mulai gelap. Orang-orang mulai menutup jendela, menurunkan jemuran, & berlarian mencari tempat berteduh.
Hujan turun tiba-tiba. Deras. Seperti tumpahan air dari langit. Atap seng toko kelontong itu berbunyi nyaring, menandai hujan yg tidak biasa. Arga berdiri di depan toko, memandangi jalanan yg mulai kosong.
Lalu, seseorang muncul di seberang jalan. Seorang perempuan dengan jaket abu-abu & ransel hitam. Ia tampak kebingungan, seperti tak tahu harus ke mana. Arga memperhatikannya sebentar, lalu tanpa sadar melangkah ke luar & memanggil, Mbak, mau berteduh di sini dulu?
Perempuan itu menoleh. Ragu-ragu. Tapi akhirnya ia berlari kecil melintasi jalan yg tergenang, lalu berdiri di depan toko Arga sambil tersenyum canggung.
Terima kasih, Mas. Saya nggak bawa payung.
Gak apa-apa. Hujannya deras banget, ya.
Iya, padahal tadi panas banget.
Perempuan itu memperkenalkan dirinya sebagai Lira. Ia baru datang dari kota & sedang mencari alamat kos-kosan yg tidak ia temukan karena sinyal HP-nya hilang sejak hujan turun. Arga menawarkan teh hangat dari termos kecil yg sering ia bawa.
Mereka duduk berdua di kursi plastik, di antara rak-rak berisi mi instan & minyak goreng. Hujan terus turun, tetapi waktu berjalan pelan. Lira bercerita sedikit tentang dirinya. Ia akan mulai bekerja sebagai guru honorer di SD dekat terminal. Arga cuma tersenyum, mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
Mas Arga nggak pernah kepikiran pergi dari sini? tanya Lira tiba-tiba.
Arga mengangkat bahu. Pernah. Tapi belum berani.
Takut?
Lebih ke… gak punya alasan buat pergi.
Lira tertawa kecil. Mungkin sekarang udah ada alasannya.
Arga menoleh. Mereka bertatapan beberapa detik sebelum akhirnya keduanya tertawa, kikuk namun hangat. Hujan akhirnya reda, menyisakan aroma tanah basah yg memenuhi udara. Lira berpamitan melanjutkan pencarian kos-kosannya. Sebelum pergi, ia berkata, Kalau saya udah settle, saya balik ke sini, ya. Mau beli teh hangatnya lagi.
Arga mengangguk, masih dengan senyum yg tertahan. Untuk perdana kalinya, ia merasa siang yg mendung tidak sering kelabu. Kadang, hujan dapat membawa sesuatu yg tidak kita sangkaseperti pertemuan, atau mungkin, sebuah awal yg baru.
—