Dunia Terfragmentasi, Kita Butuh Tanggung Jawab Moral Individu
Dunia kita sekarang semakin terfragmentasi di semua bidang, termasuk di bidang pendidikan & kebudayaan.
Pendidikan sering terjebak pada logika untung-rugi & lomba tanpa keteladanan, sementara kebudayaan lokal semakin terpinggirkan oleh mondialisasi gaya hidup konsumtif & nilai-nilai instan & komersial.
Zygmunt Bauman, sosiolog asal Polandia, menyebut zaman modern akhir ini sebagai era “modernitas cair” (liquid modernity), ketika tatanan sosial yg dulunya stabil –agama, keluarga, sekolah, negara– tidak lagi berfungsi sebagai penuntun moral yg kuat.
Dunia jadi serba cepat, serba sementara, & rekanan antarindividu jadi dangkal. Kita hidup di tengah masyarakat yg terfragmentasi, keterpecahan & ketidakpastian, tetapi di saat bersamaan tetap membutuhkan nilai-nilai yg mempersatukan, memperdamaikan, & menciptakan dunia jadi tempat yg manusiawi.
Dalam konteks ini, pendidikan & kebudayaan memegang peran vital, namun keduanya juga turut mengalami tekanan dari arus fragmentasi ini. Pendidikan sering terjebak pada logika pasar & kompetisi, sementara kebudayaan lokal tergilas oleh globalisasi nilai-nilai instan & komersial.
Di tengah semua itu, pertanyaan mendasar yg perlu kita ajukan kembali adalah, apakah kita masih memelihara tanggung jawab moral sebagai individu?
Bauman dalam Postmodern Ethics (1993) menulis: There are no more unquestionable authorities to tell us what is right and what is wrong; we must choose our responsibilities ourselves. Dalam dunia yg tidak lagi punya rambu moral yg kokoh, setiap perseorangan harus mengambil tanggung jawab etis secara sadar.
Dunia Pendidikan
Ini sangat relevan dalam dunia pendidikan kita hari ini. Ketika sistem tidak cukup kuat menjamin nilai-nilai, maka tabiat murid sangat tergantung pada teladan pribadi para guru & orang dewasa di sekitarnya.
Kita melihat ini dalam banyak kisah nyata, misalnya guru-guru di pelosok Indonesia yg tetap loyal mengajar dengan segala keterbatasan. Mereka mengabaikan godaan pragmatisme, & memilih untuk bertanggung jawab kepada masa depan anak-anak di komunitasnya.
Data menunjukkan, ada lebih dari 150 ribu guru honorer di daerah terpencil yg tetap mengajar, meski dengan gaji di bawah UMR. Ini menunjukkan bentuk nyata tanggung jawab moral mereka.
Tindakan mereka mencerminkan apa yg disebut Bauman sebagaimoral impulse that precedes reason and law. Dorongan etis yg tidak ditentukan oleh aturan, melainkan oleh pencerahan akan keberadaan orang lain yg tidak dapat diabaikan. Dorongan untuk bertanggung jawab lahir dari dalam diri, bukan karena paksaan atau aturan di luar dirinya.
Di Indonesia, Indeks Integritas Pendidikan 2023 menunjukkan penurunan skor integritas akademik di beberapa provinsi, khususnya terkait praktik mencontek & manipulasi nilai. Sistem Pendidikan yg lebih fokus pada hafalan daripada pembentukan tabiat juga menyebabkan siswa memiliki kemampuan rendah dalam berpikir kritis & memecahkan masalah.
Dunia kebudayaan
Dalam kebudayaan, tanggung jawab moral juga kerap dilupakan. Banyak warisan budaya lokal kita yg mengajarkan empati, gotong royong, & penghormatan kepada alam justru ditinggalkan demi budaya digital yg serba cepat & dangkal.
Minimnya regenerasi juga menyebabkan banyak warisan budaya Indonesia, seperti wayang, batik, & pencak silat, dalam UNESCOIntangible Cultural Heritage Listmasuk kategoriin need of urgent safeguarding, butuh pelestarian mendesak.
Ini berbahaya, sebab budaya bukan sekadar identitas, tetapi sumber nilai bersama. Ketika budaya tidak lagi ditanamkan secara sadar dalam pendidikan maupun kehidupan sehari-hari, maka generasi muda akan kehilangan jangkar moralnya.
Sekolah & lembaga kebudayaan sejatinya adalah tempat pembentukan watak, namun dalam praktiknya, etika sering tergeser oleh target capaian teknis: nilai ujian, akreditasi, prestasi individual.
Padahal, seperti ditulis Bauman dalam Liquid Modernity (2000), Moral responsibility is non-negotiable and non-transferable. Kita tidak dapat berharap nilai moral cuma diajarkan lewat buku teks atau slogan. Ia harus ditanamkan lewat tindakan nyata & rekanan langsung antara guru & murid, antara orang tua & anak, antara masyarakat & budayanya.
Kita tidak sedang kekurangan sistem pendidikan, tetapi kekurangan keteladanan. Kita tidak kekurangan kurikulum, tetapi kekurangan ruang untuk menumbuhkan empati, keberanian moral, & kepedulian sosial.
Peran individu
Di sinilah peran perseorangan jadi sangat penting. Dunia memang terus berubah, tetapi tanggung jawab moral tidak boleh ikut larut dalam perubahan itu. Karena pada hakikatnya, manusia adalah subjek moral yg dipanggil untuk ikut bertanggung jawab secara moral dalam membangun dunia supaya lebih baik & lebih manusiawi.
Saat ini, lebih dari kebijakan atau proyek nasional, kita membutuhkan pencerahan etis dalam skala mikro. Tindakan-tindakan kecil, mengajar dengan hati, menjaga kearifan lokal, mendampingi anak-anak dengan kasih, serta melibatkan diri dalam ruang publik dengan integritas, adalah bentuk nyata tanggung jawab moral yg dibutuhkan zaman ini.
Sudah saatnya kita berhenti bertanya, apa yg salah dengan sistem? saatnya mulai bertanya, apa yg dapat saya lakukan?. Dalam dunia yg cair, tanggung jawab moral pribadi adalah satu-satunya jangkar yg dapat menciptakan kita tetap manusia sebagai manusia.
Dengan demikian, pribadi-pribadi jadi mercusuar asa & pembawa perbaikan di tengah dunia terfragmentasi & terpolarisasi. Semuanya dimulai dari hal-hal kecil, menuju hal-hal akbar supaya dunia jadi lebih sehat & layak huni.