Dunia & Realitas yg Ditelan Kode
Dalam dunia yg kita tempati hari ini, tidak semua yg disebut dunia adalah dunia dalam pengertian geografis atau eksistensial. Ada dunia lain yg jauh lebih terselubung, nyaris tak kasat mata, namun dampaknya sangat nyata: dunia sebagai jejaring sosial berbasis kode, simbol, warna, angka, & pola rekanan yg dikendalikan olehelitepengetahuan. Dunia inisebut saja dunia dengan huruf kecil namun pengaruh besarbukan sekadar komunitas, melainkan infrastruktur sosial yg memproduksi kepatuhan, menggiring opini, & pada level yg lebih subtil, menyusupkan nilai-nilai ideologis yg tak sering sejalan dengan akar budaya masyarakat.
Fenomena ini sudah membagi masyarakat ke dalam dua strata epistemik: mereka yg paham dunia & mereka yg tidak ngerti dunia. Polarisasi ini bukan main-main. Kelompok perdana dianggap progresif, terkoneksi, tahu kode, paham angka, dapat membaca warna baju & gaya rambut sebagai sinyal sosial. Sementara yg kedua sering kali dikonstruksikan sebagai bodoh, ketinggalan zaman, atau bahkan jadi targetridiculedan marginalisasi sosial. Tapi justru dalam struktur inilah paradoks akbar itu muncul. Di balik tampilan dominan mereka yg paham dunia, tersembunyi fakta bahwa merekalah sesungguhnya target utama dari sebuah infiltrasi keyakinan yg dibungkus dengan narasi modernitas.
Dunia tidak sekadar alat kontrol sosial. Ia adalah arenaepistemic violence, kekerasan pengetahuan yg membentuk pencerahan kolektif melalui cara-cara yg sangat halus: lelucon, gaya berpakaian, pemilihan angka, simbol warna, hingga kode linguistik yg sengaja diolah jadi bagian dari komunikasi sehari-hari. Dalam ranah ini, dunia jadi ruang persemaian ideologi alternatifatau dalam bahasa yg lebih tegas, kristenisasi dalam format terselubung. Bukan dalam bentuk konversi eksplisit, melainkan lewat prosesculturalsubversionyang sistematis.
Perlu digarisbawahi bahwa kristenisasi yg dimaksud bukanlah aktivitas misi konvensional yg memakai simbol salib & mimbar gereja. Ini adalah bentuk baru (atau lama) kristenisasi, yg dalam istilah pascamodern dapat disebut sebagai softproselytism. Ia bekerja tidak melalui institusi keagamaan formal, melainkan melalui jaringan gaya hidup, komunitas simbolik, & sistem nilai yg dibingkai dalam narasi kebebasan, sayang universal, & toleransi progresif. Semuanya dikemas dalam bahasa yg akrab ditelinga generasi digital:open-mindedness, body positivity, spiritual-but-not-religious, & seterusnya.
Di tengah masyarakat yg mayoritas memegang sistem keimanan tertentu, proses ini berlangsung tanpa alarm. Justru karena dibalut dalam solidaritas sosial, komunitas, bahkan semangat pembebasan dari doktrin lama, maka gerakan ini terlihat progresif, inklusif, & bebas dari prasangka. Padahal, dalam kenyataannya, ini adalah bentuk inkuisisi gaya barudengan modus inversif. Kalau inkuisisi lama membakar mereka yg menolak iman, maka inkuisisi hari ini justru mengolok mereka yg memegang iman dengan kukuh sebagai perseorangan atau kelompok yg tidak ngerti dunia.
Kelompok yg tidak paham dunia secara sosial memang ditekan, bahkan dipersekusi. Tapi kelompok yg paham dunialah yg jadi target yg sesungguhnya. Mereka direkrut, disosialisasi, & ditanamkan nilai baru melalui proses afeksi, bukan logika. Mereka dijadikan duta nilai baru yg tampaknya tidak beragama, padahal sedang memainkan narasi keimanan alternatif yg lebih sekuler namun tetap bersumber dari doktrin tertentu. Dalam konteks ini, dunia jadi perangkat yg sangat efisien dalam menyebarkan apa yg disebut oleh para sosiolog agama sebagaicrypto-mission:penyebaran iman terselubung di luar struktur gereja.
Fungsi politik dari dunia pun tak kalah penting. Dalam lanskap pemilihan kepala daerah (pilkada), jejaring dunia dapat dimobilisasi sebagai alat kontrol suara. Kandidat yg didukung oleh komunitas dunia tidak harus bicara visi-misi. Cukup paham kode, tahu angka, paham warna baju yg harus dikenakan, & tentu saja, memahami gaya humor serta simbol yg berlaku dalam komunitas itu. Dengan satu unggahan atau kalimat penuh kode, massa dapat digerakkan. Dunia jadi mesin elektoral yg efisien, karena bekerja melalui afeksi & bukan argumen. Ia menciptakan loyalitas, bukan karena program kerja, tetapi karena simbol bersama.
Di sisi lain, dunia juga jadi ruang validasi eksistensial. Orang merasa eksis karena diakui oleh dunia. Mereka takut keluar dari dunia karena akan kehilangan komunitas, kehilangan bahasa, kehilangan konteks. Inilah mengapa kontrol sosial yg dibangun oleh dunia jauh lebih kuat dari sistem formal negara atau agama. Dunia bekerja seperti tata kelola emosi kolektif: mengatur rasa malu, rasa takut, rasa diterima, & rasa sukses. Ia adalah lembaga psikologis yg lebih berpengaruh dari sekolah & rumah ibadah.
Di sinilah letak kekuatan sekaligus bahayanya. Dunia adalah simulakra dari komunitas keagamaan, tetapi tanpa struktur iman yg jelas. Ia adalah gereja tanpa altar, pesantren tanpa kitab, & masjid tanpa doa. Dunia adalah tempat ibadah di mana yg disembah adalah gaya hidup, bukan Tuhan. Dan dalam kondisi seperti ini, kristenisasi bukan lagi soal mengubah KTP, tetapi soal mengubah orientasi eksistensial seseorang tanpa disadari.
Kita mesti bertanya: siapa yg diuntungkan dari semua ini? Tidak sulit menjawabnya. Setiap komunitas atau entitas ideologis yg mengharapkan penyebaran nilai dalam skala luas tanpa resistensi akan melihat dunia sebagai alat yg sempurna. Tak perlu lagi kampanye religius. Cukup dengan mengelola komunitas sosial yg memiliki bahasa & simbol sendiri. Maka, semua yg masuk ke dalamnya akan dengan sendirinya terpapar.
Dunia bukan komunitas netral. Ia adalah sistem distribusi nilai. Dan ketika nilai-nilai tersebut tidak diverifikasi secara epistemologis & teologis, maka kita berhadapan dengan kolonialisme budaya tahap lanjut. Dunia adalah misidan kita semua adalah ladangnya.
Jika masyarakat tidak waspada, maka akan terjadi proses delegitimasi sistem kepercayaan lama. Tradisi dianggap kolot, nilai agama dianggap membatasi, & mereka yg memegang teguh keyakinan dianggap sebagai warga kelas dua yg tidak relevan dengan zaman. Inilah fase akhir dari dunia sebagai inkuisisi sosial: ketika nilai lama dimusuhi bukan oleh musuhnya, tetapi oleh anak-anaknya sendiri yg sudah sepenuhnya mengerti dunia.
Yang lebih tragis, beberapa dari mereka bahkan tidak sadar bahwa mereka sudah berpindah imanbukan secara administratif, tetapi secara eksistensial. Mereka tetap mengaku Muslim, tetap shalat, tetap berpuasa, & bahkan tampak lebih rajin dari orang kebanyakan. Namun sistem nilai yg mereka yakini, narasi yg mereka wariskan, & ideologi yg mereka bela, sepenuhnya berasal dari doktrin yg asing: berasal dari tubuh pengetahuan yg dirancang bukan untuk memperkuat iman, melainkan untuk mengikisnya dari dalam. Tanpa sadar, banyak dari mereka kini memperjuangkan agenda yg sejatinya bertentangan dengan keyakinan asalnyaagenda misi yg dibungkus dengan bahasa inklusivitas, kemajuan, atau bahkan moderasi.
Mereka adalah pendeta dengan gelar sarjana pendidikan Islam. Biarawati dengan busana Muslimah lengkap: hijab syari, bahkan kadang cadar, tetapi setiap langkahnya diarahkan oleh kurikulum yg disusun oleh institusi asing. Mereka adalah pastur yg mengenakan aksesori keislamantasbih, peci, sorbanbukan untuk mengamalkan zikir, tetapi untuk menunjukkan bahwa bukti diri dapat dibungkus & dijual ulang sebagai produk. Mereka tidak mengubah bukti diri secara formal, tetapi secara nilai & tujuan, mereka sudah bergeser total.
Maka dalam konteks ini, resistensi bukan berarti menutup diri dari zaman. Tapi justru jadi subjek sadar yg dapat memilih nilai mana yg sesuai dengan akal, hati, & iman. Dunia harus dibaca secara kritis. Dan yg terpenting: jangan hingga kita paham dunia, tetapi kehilangan dunia yg sesungguhnya.