Loading Now

Dua Rasa Satu Dapur Sejarah: Narasi Kolonial dalam Sejarah Nasional

Dua Rasa Satu Dapur Sejarah: Narasi Kolonial dalam Sejarah Nasional

Dalam sejarah resmi yg diajarkan di sekolah-sekolah, Majapahit & Hindia Belanda tampak seperti dua bab yg dipisahkan oleh jarak ratusan tahun, masing-masing dengan protagonis & antagonisnya sendiri. Majapahit ditampilkan sebagai mahakarya Nusantarakerajaan yg mempersatukan wilayah dari Sabang hingga Merauke, sementara Hindia Belanda digambarkan sebagai kekuatan kolonial yg menghisap sumber daya demi kemakmuran negeri kincir angin. Namun, kalau kita mengupas lapisan retorika, mengganti bajuhero and villain, pahlawan & penjahat, lalu memeriksa bumbu yg dipakai, kita akan menemukan sesuatu yg menarik: kedua kekuasaan ini beroperasi dengan resep yg sama, cuma kokinya yg berbeda.

Majapahit, menurut narasi populer, adalah kerajaan agraris yg menjelma jadi kerajaan maritim demi cita-cita politik besarNusantara bersatu. Hindia Belanda, di sisi lain, adalah perusahaan dagang yg berkembang jadi negara kolonial. Tetapi di balik semua ragam kemasan itu, keduanya adalah imperium rempah-rempah. Dalam istilah ekonomi-politik global, mereka adalah pengatur alur komoditas bernilai tinggi yg menghubungkan produsen di wilayah Nusantara dengan konsumen di pusat kekuasaan jauh di luar zona produksi. Majapahit mengirim rempah ke istana-istana Asia, Hindia Belanda mengirimnya ke meja makan bangsawan Eropa. Di antara keduanya, bumbu tetap bumbu; perbedaannya cuma pada siapa yg memonopoli sendok sayur.

Dua Rasa Satu Dapur Sejarah: Narasi Kolonial dalam Sejarah Nasional

Baik Majapahit maupun Hindia Belanda sama-sama memiliki pusat kekuasaan yg jauh dari sumber rempah. Trowulan, dengan tanah liatnya yg hangat & jarak ribuan kilometer dari Kepulauan Maluku, tidak lebih dekat ke pala daripada Batavia dengan kanal-kanalnya yg penuh nyamuk. Jarak ini, yg dalam teorilongue dureFernand Braudel adalah faktor geografis yg membentuk sejarah selama berabad-abad, memaksa keduanya membangun sistem kontrol maritim: armada, aliansi politik, & jaringan tribut yg memastikan rempah mengalir ke pusat tanpa terganggu gangguan seperti kedaulatan lokal atau harga pasar bebas.

Keduanya pun mengandalkan narasi kejayaan untuk membenarkan penguasaan jalur perdagangan. Majapahit memiliki Sumpah Palapa yg dikutip di buku teks seperti wahyu politikjanji Gajah Mada untuk tidak bersenang-senang sebelum menguasai seluruh Nusantara. Hindia Belanda memiliki laporan tahunan VOC yg penuh istilah akuntansi, tetapi sama-sama dibalut euforia tentang memastikan kestabilan perdagangan demi kepentingan bersama (tentu saja bersama di sini dimaksudkan untuk dewan direksi atau raja di negeri jauh). Perbedaan bahasanya jelassatu memakai sanskerta politik, satunya bahasa dagang Belandanamun intinya sama: rempah adalah alasan & tujuan.

Di tingkat operasional, keduanya menunjukkan kemiripan yg menciptakan kita bertanya-tanya apakah sejarah Nusantara adalah produksi ulang dengan pemeran baru. Majapahit memperluas pengaruhnya ke Maluku, Ternate, & Banda melalui kombinasi ekspedisi militer & diplomasi tribut. Hindia Belanda berbuat hal yg sama, meski dengan istilah yg lebih korporat: mengamankan jalur perdagangan, menegakkan monopoli, & perjanjian eksklusif. Dalam bahasa teori politik, keduanya menguasaichoke pointstitik-titik vital yg mengendalikan arus barang, dalam hal ini rempah yg lebih berharga daripada emas di pasar dunia zaman pertengahan & awal modern.

Bahkan masa berkuasa mereka pun hampir sejajar dalam panjangnya, sekitar tiga abad. Majapahit berdiri tegak (setidaknya dalam imajinasi sejarah) dari akhir zaman ke-13 hingga awal zaman ke-16, sementara Hindia Belanda bertahan dari awal zaman ke-17 hingga pertengahan zaman ke-20. Tiga zaman adalah waktu yg cukup lama untuk mengubah lanskap ekonomi, bahasa, & pola pikir masyarakat, tetapi juga cukup untuk menciptakan kejenuhan & celah bagi kekuatan baru untuk mengambil alih. Seperti mengatakan Braudel, struktur jangka panjang yg menopang kekuasaan akhirnya runtuh ketikaekonomi-mondebergeser: rempah bukan lagi primadona, & jalur perdagangan menemukan komoditas baru.

Majapahit runtuh ketika kekuatan maritim Islam seperti Demak, Malaka, & Makassar merebut pangsa pasar rempah, memotong jalur distribusi yg sebelumnya terkonsentrasi di bawah kendalinya. Hindia Belanda mengalami nasib serupa ketika monopoli VOC hancur oleh kebangkrutan, lomba kolonial lain, & pergeseran pasar dunia ke kopi, gula, & timah. Jika diibaratkan restoran, keduanya bangkrut karena pelanggan menemukan menu baru, sementara dapur terlalu sibuk menghitung stok bumbu lama.

Yang menciptakan perbandingan ini semakin menarik adalah cara keduanya membungkus kekuasaan dalam narasi moral & kultural. Majapahit dikisahkan dalamkakimpoidan kronik sebagai pemersatu, pembawa ketertiban, & pelindung perdagangan. Hindia Belanda membungkus monopoli dalam bahasa peradaban & modernisasi. Dua baju retorika ini, meskipun berbeda motif kainnya, memiliki potongan pola yg sama: kekuasaan perlu dilegitimasi bukan cuma dengan kekuatan militer, tetapi juga dengan kisah yg menciptakannya terlihat perlu.

Dalam kerangka analisis pascakolonial, seperti yg diuraikan Edward Said dalamOrientalism, kedua entitas ini memproduksi citra tentang wilayah yg mereka kuasaibaik untuk konsumsi internal maupun eksternal. Majapahit memproduksi citra Nusantara sebagai satu kesatuan yg patut ditaklukkan demi ketertiban kosmik, Hindia Belanda memproduksi citra Nusantara sebagai wilayah eksotik yg perlu dikelola oleh tangan modern Eropa. Dalam kedua kasus, citra itu tidak sepenuhnya mencerminkan realitas, melainkan konstruksi ideologis yg berfungsi menjaga arus rempah & stabilitas kekuasaan.

Jika kita mau sedikit nakal membayangkan, Majapahit & Hindia Belanda seolah dua musim dari satu serial televisi sejarah: letak syuting sama, alur akbar sama, cuma kostum & pemerannya yg berganti. Musim pertama: seorang patih bersumpah demi rempah. Musim kedua: seorang gubernur jenderal menandatangani kontrak monopoli. Penontonyakni masyarakat yg hidup di bawahnyatetap jadi figuran yg menanam, memanen, & mengirimkan bumbu ke pusat kekuasaan. Perubahan terbesar mungkin cuma pada bahasa perintah & bentuk pajak.

Jika kita meminjam kacamata Braudel, kita dapat melihat rempah sebagai struktur dalam sejarah Nusantara, yg lebih abadi daripada dinasti atau bendera. Rempah jadi porosekonomi-mondeyang mengatur ritme politik, diplomasi, & peperangan. Dalam jangka panjang, yg berganti hanyalah operatornyahari ini raja, besok gubernur, lusa mungkin direktur perusahaan multinasional. Tetapi rempah, sebagai komoditas & simbol, tetap menuntut jaringan kontrol, kekuatan maritim, & narasi pembenaran.

Di titik ini, sulit untuk tidak tersenyum pahit ketika membaca narasi resmi yg memisahkan Majapahit & Hindia Belanda secara total. Dalam logika formal, mereka memang berbeda: yg satu kerajaan pribumi, yg satu koloni asing. Tetapi dalam logika material, keduanya adalah ragam dari model yg sama: pusat kekuasaan yg memonopoli komoditas strategis melalui penguasaan jalur distribusi & produksi. Bagi petani pala di Banda atau nelayan di Ambon zaman ke-15 & ke-18, mungkin disparitas itu tidak terasa. Pajak tetap dipungut, rempah tetap dikirim, & kapal perang tetap singgah di pelabuhan.

Ironi terbesar adalah bagaimana narasi Majapahit kini dipakai untuk membangun legitimasi nasionalseringkali dengan bahasa yg sama otoriternya seperti retorika kolonialsementara narasi Hindia Belanda dikecam habis-hadapatn sebagai imperialisme. Padahal, kalau kita mau jujur, yg satu adalah imperialisme berbasis mitos sejarah, yg lain imperialisme berbasis kontrak dagang. Keduanya sama-sama mengpakai rempah sebagai alasan untuk mengatur hidup orang lain.

Akhirnya, membandingkan Majapahit & Hindia Belanda bukan untuk menyamakan derajat keduanya dalam sejarah nasional, melainkan untuk menyadarkan kita bahwa bentuk kekuasaan sering kali lebih ditentukan oleh struktur ekonomi & geografi daripada oleh niat baik atau jahat para penguasanya. Dalam dunia yg dikendalikan oleh bumbu, siapa pun yg memegang kunci dapur akan berperilaku sepertichefyang menentukan menuentah ia mengenakan kain batik atau mantel wol Eropa.

Sejarah Nusantara, dalam pandangan ini, adalah sejarah pergantian koki di dapur rempah yg sama. Kita, para penikmat & pekerja dapur, sebaiknya mulai bertanya: kapan kita belajar memasak untuk diri sendiri?

wgnewss.com adalah segala laporan mengenai peristiwa, kejadian, gagasan, fakta, yang menarik perhatian dan penting untuk disampaikan atau dimuat dalam media massa agar diketahui atau menjadi kesadaran umum.

  1. https://paste.beba.st/
  2. https://shortlyfi.com/
  3. https://socialprooff.com/
  4. https://twitemedia.com/
  5. https://gametendangbola.com/
  6. https://kringtube.com/
  7. https://allgamerandom.com/
  8. https://qrgenerator1.com/
  9. https://multitoolspro.com/
  10. https://newstreetjob.com/
  11. https://bignewss.com/
  12. https://batam.co.id/
  13. https://wgnewss.com/
  14. https://kalilinux.info/
  15. https://wiblinks.com/
  16. https://magictoolsthemes.com/
  17. https://sunting.id/
  18. https://wagam.net/
  19. layarkaca21
  20. mulia77
  21. maxwin25
  22. slot25
  23. https://slot25.it.com/
  24. slot ngacir
  25. lk21
  26. http://conciliacion-metrowifi.etapa.net.ec/
  27. https://nokephub.com/