Di Balik Warung Kopi Bu Sumarni

Pagi itu di desa Karangjati, suara ayam jantan bersahutan memecah kesunyian. Embun masih melekat di ujung daun pisang, & aroma tanah basah menyatu dengan wangi kopi yg mengepul dari sebuah warung sederhana di pinggir jalan desa.

Warung itu milik Bu Sumarni, seorang janda berusia lima puluhan yg sudah mengelola warung tersebut sejak suaminya meninggal lima belas tahun lalu. Warung kopi miliknya bukan sekadar tempat ngopiia adalah saksi bisu segala keluh kesah, tawa, & rahasia warga Karangjati.

Seperti biasa, warung Bu Sumarni mulai ramai sejak pukul enam pagi. Pak Dul, seorang pensiunan tentara, datang paling awal, duduk di pojok sambil menyeruput kopi hitam tanpa gula. Di sampingnya, Mas Bowo, tukang ojek desa, memarkir motor & ikut bergabung sambil membawa berita-berita terbaru dari pasar.

Tapi pagi ini berbeda.

Seorang lelaki asing datang. Tubuhnya tinggi, berambut gondrong sedikit beruban, dengan jaket kulit cokelat & tas ransel lusuh. Ia memesan kopi & duduk diam, menatap ke arah sawah yg membentang di seberang warung.

Bu Sumarni memperhatikannya. Wajah lelaki itu seperti mengenang sesuatu yg dalam. Tatapannya tidak asing. Ia seperti seseorang yg pernah ia temui tetapi kapan?

Setelah beberapa menit hening, lelaki itu berkata lirih, Masih sama seperti dulu. Sawahnya masih hijau.

Bu Sumarni tertegun. Ia menatap lelaki itu lebih seksama.

Kamu Surya?

Lelaki itu tersenyum kecil, Akhirnya Ibu mengenali saya.

Surya adalah anak sulung Pak Karno, kepala desa lama. Dulu dia diketahui sebagai pemuda cerdas, bercita-cita jadi arsitek. Tapi saat SMA, ia tiba-tiba menghilang. Desas-desus menyebut ia kabur karena terlibat kasus pencurian motor. Ada pula yg bilang dia kabur karena malu tak lulus ujian akhir. Sejak itu, tak ada yg tahu kabarnya.

Saya nggak percaya ini kamu gumam Bu Sumarni.

Lima belas tahun, Bu. Saya keliling kota-kota, jadi buruh bangunan, pernah ngamen juga. Tapi saya pulang bukan karena kalah. Saya pulang karena harap menebus.

Air mata mengalir di pipi Sumarni. Ia ingat betapa hancurnya hati Pak Karno dulu, kehilangan anak yg tak berpamitan.

Surya melanjutkan, Saya nggak curi motor, Bu. Tapi waktu itu saya dituduh teman. Saat semua orang menjauh, saya nggak punya keberanian membela diri. Saya cuma harap lari.

Obrolan pagi itu mengubah banyak hal. Pak Dul yg selama ini menyimpan prasangka, mulai membuka hati. Mas Bowo yg dulu sering menggoda adik Surya, akhirnya meminta maaf karena ikut menyebar fitnah.

Hari demi hari, Surya mulai menolong di warung Bu Sumarni. Ia memperbaiki atap bocor, mengecat dinding warung, bahkan menciptakan taman kecil di sampingnya. Warga mulai akrab kembali dengannya. Bahkan, kepala desa yg baru menawarkan proyek pembangunan jembatan desadan Surya ditunjuk sebagai perancangnya.

Warung kopi itu kembali ramai, tetapi kini bukan cuma tempat curhat. Ia jadi pusat rekonsiliasi & asa baru. Bu Sumarni tersenyum melihat perubahan itu.

Satu sore, saat mentari mulai tenggelam & angin sore membawa aroma damai, Bu Sumarni duduk di samping Surya.

Kamu tahu, Surya warung ini dulu dibangun suamiku dengan asa dapat jadi tempat yg menyatukan orang. Sekarang saya tahu asa itu tidak sia-sia.

Surya menatap langit jingga. Terima kasih, Bu. Karena memberi saya kesempatan kedua.

—