Di Balik Kabut Senja

Di sebuah desa kecil yg diselimuti kabut hampir sepanjang tahun, tinggal seorang pemuda bernama Raka, anak tunggal dari seorang tukang kayu yg tinggal di pinggir hutan. Sejak kecil, Raka hidup sederhana. Ibunya sudah tiada sejak ia berusia lima tahun, & ayahnya, Pak Darmo, membesarkannya seorang diri dengan tangan kasar & hati yg lembut.

Meski hidup dalam keterbatasan, Raka tumbuh jadi anak yg cerdas & bersemangat. Ia sangat suka membaca, meski buku-buku yg dimilikinya hanyalah buku bekas dari sekolah desa yg robek & lusuh. Setiap malam, ia membaca di bawah cahaya lampu minyak sambil mendengarkan suara jangkrik & angin yg meniup daun-daun jendela.

Cita-cita Raka sederhana tetapi besar: ia harap jadi guru, supaya anak-anak di desanya dapat bermimpi setinggi bintang, seperti dirinya.

Namun, kenyataan tidak seindah harapan. Setelah lulus SMP, Raka tidak dapat melanjutkan sekolah karena tidak ada biaya. Ayahnya semakin tua & sakit-sakitan. Untuk bertahan hidup, Raka mulai bekerja menolong warga desa: mengangkat kayu, membersihkan ladang, bahkan menggali sumur. Ia mengerjakan apa saja, selama itu halal.

Tapi semangatnya tak padam.

Setiap malam, ia tetap belajar sendiri. Ia menulis di buku catatan bekas, membaca ulang pelajaran SMP, & berdoa dengan sungguh-sungguh supaya suatu hari ia dapat melanjutkan sekolah. Hingga suatu hari, sebuah pengumuman datang dari balai desa: ada program beasiswa untuk anak desa berprestasi yg putus sekolah.

Dengan penuh harap, Raka mendaftar.

Ia mengikuti tes seleksi di kota kecamatan, menempuh perjalanan sejauh 25 kilometer dengan berjalan kaki & menumpang truk sayur. Di sana, ia bersaing dengan puluhan pemuda lain. Namun takdir baik berpihak padanya: Raka lulus! Ia mendapatkan beasiswa penuh untuk melanjutkan SMA & kuliah di kota!

Tangis bahagia meledak di pelukan ayahnya saat mendengar kabar itu.

Namun, kebahagiaan itu tak berlangsung lama. Di tahun terakhir SMA, ayahnya jatuh sakit parah. Raka harus memilih: tetap belajar di kota atau pulang merawat ayahnya.

Tanpa ragu, ia memilih pulang.

Ia meninggalkan bangku sekolah, meninggalkan beasiswanya, & kembali ke desa. Ayah lebih penting dari semua mimpi, katanya. Ia merawat ayahnya dengan sabar, memberinya makan, mencuci, hingga mengganti pakaiannya setiap hari. Sampai akhirnya, pada suatu malam yg dharap, Pak Darmo menghembuskan napas terakhir di pelukan anaknya.

Raka kehilangan segalanya. Beasiswa hangus. Cita-cita tampak jauh. Tapi hatinya tetap teguh.

Selama dua tahun berikutnya, ia tinggal di desa. Mengajar anak-anak kecil membaca & menulis di gubuk kayu miliknya secara gratis. Ia percaya, “Jika saya tidak dapat ke sekolah, biar saya yg menciptakan sekolah datang ke mereka.”

Semangat Raka menyebar. Warga mulai menyumbang papan tulis, buku-buku, bahkan meminjamkan ruangan. Lalu, suatu hari, seorang wartawan lokal datang & menulis kisahnya. Artikel itu viral.

Pemerintah pun turun tangan.

Raka diundang ke kota. Ia diberi beasiswa kuliah & didaulat sebagai inspirasi nasional dalam bidang pendidikan desa. Ia akhirnya lulus jadi sarjana pendidikan, & kembali ke desa, bukan sebagai pemuda biasatapi sebagai guru yg pernah dikorbankan oleh waktu, namun tak pernah dikalahkan oleh nasib.

Kini, gubuk kecil itu sudah jadi sekolah desa resmi. Di depannya tertulis papan kayu sederhana:

“Sekolah Kabut Senja Tempat Mimpi Tidak Pernah Mati.”

Pesan Moral:

Hidup akan menguji keteguhanmu dengan kehilangan, pengorbanan, & kesabaran. Tapi selama hatimu tetap percaya pada kebaikan, semua yg kau tanam akan tumbuh, pada waktunya.