Dekonstruksi Historiografi: Sejarah sebagai Medan Wacana & Kuasa
Dalam tradisi historiografi Barat modern, sejarah sering diposisikan sebagai representasi objektif atas masa lampau. Sejarahwan dianggap sebagai saksi netral, sementara arsip dianggap menyimpan bukti autentik yg tak terbantahkan.
Namun, pemikiran Michel Foucault mengguncang fondasi anggapan tersebut. Ia tidak cuma menantang cara sejarah ditulis, melainkan juga membongkar kerangka epistemologis yg menopang praktik historiografi. Bagi Foucault, sejarah bukan sekadar rekaman apa yg terjadi, melainkan konstruksi wacana yg sering terikat pada rekanan kuasa & kepentingan institusional.
Dengan pendekatan arkeologi & genealogi, Foucault menolak narasi sejarah yg linear, teleologis, & berpusat pada subjek. Ia menunjukkan bahwa sejarah lebih menyerupai ruang konflik antarwacana daripada jalur lurus perkembangan rasionalitas manusia. Sejarah tidak bersifat netral & tidak mencerminkan masa lalu secara objektif, melainkan dibentuk oleh rezim pengetahuan yg berlaku pada masa tertentu. Apa yg disebut sebagai kebenaran sejarah tidak lepas dari kepentingan wacana & dominasi kekuasaan.
Kritik Foucault kepada historiografi berangkat dari penolakan kepada anggapan bahwa sejarah dapat merepresentasikan masa lalu secara netral. Ia berargumen bahwa pengetahuan sejarah sering bergantung pada kerangka epistemologis yg disebutnya sebagai pistmyakni seperangkat aturan tak terlihat yg menentukan apa yg dapat dipikirkan, dikatakan, & dituliskan dalam satu masa.
Dalam The Order of Things, Foucault menunjukkan bahwa kategori-kategori seperti manusia, pengetahuan, & bahasa bukanlah konsep universal, melainkan hasil konstruksi wacana yg berubah-ubah. Sejarah, dengan demikian, tidak merekam masa lalu secara polos, tetapi beroperasi dalam batasan diskursif tertentu.
Melalui metode arkeologi, Foucault mengalihkan fokus dari subjek & narasi akbar ke sistem ujaran yg memungkinkan terbentuknya pengetahuan. Ia tidak menelusuri peristiwa dalam urutan kronologis, melainkan menggali kondisi-kondisi yg memungkinkan sebuah pernyataan dianggap benar & bermakna dalam suatu masa. Dalam The Archaeology of Knowledge, ia menyatakan bahwa sejarah tidak bergerak secara mulus, melainkan penuh dengan patahan & diskontinuitasfenomena yg ia sebut sebagai epistemic breaks. Arkeologi tidak menekankan kontinuitas, melainkan memperlihatkan adanya pergeseran & perpecahan dalam tatanan ujaran yg membentuk lanskap pengetahuan.
Namun, arkeologi tidak mencakup seluruh dimensi historis. Karena itu, Foucault kemudian memperkenalkan genealogi sebagai metode yg memperhitungkan operasi kekuasaan. Terinspirasi oleh Nietzsche, ia menelusuri asal-usul ide & institusi bukan sebagai titik awal yg murni, melainkan sebagai hasil kontingensi, konflik, & dominasi. Genealogi bertujuan mengungkap bagaimana apa yg tampak alami atau masuk akal sesungguhnya berasal dari proses historis yg tidak stabil. Genealogi juga menolak konsep asal-usul tunggal & menggantikannya dengan pemahaman bahwa sejarah sering merupakan hasil dari pergulatan & peristiwa acak yg kemudian dinaturalisasi oleh kekuasaan.
Penerapan genealogi paling jelas terlihat dalam Discipline and Punish, yg membongkar transformasi sanksi dari eksekusi publik menuju sistem penjara modern. Foucault menjelaskan bahwa perubahan ini bukan disebabkan oleh kemajuan moral, melainkan oleh pergeseran strategi kekuasaan dalam mengontrol tubuh manusia. Teknik pengawasan, disiplin, & pengaturan ruang menggantikan kekerasan terbuka sebagai sarana pembentukan subjek yg patuh. Penjara, sekolah, rumah sakit, & barak militer jadi bagian dari jaringan kekuasaan disipliner yg menyebar secara tersembunyi namun efektif.
Melalui kerangka tersebut, Foucault menunjukkan bahwa sejarah bukanlah kisah kebebasan manusia, tetapi tentang bagaimana subjek dibentuk melalui sistem pengetahuan & jaringan kekuasaan. Ia memperkenalkan konsep regime of truth, yaitu seperangkat prosedur yg menentukan apa yg dapat disebut sebagai kebenaran, siapa yg berhak menyatakannya, & melalui saluran apa kebenaran tersebut disebarkan. Dalam konteks ini, sejarah jadi alat pembentukan & pelestarian tatanan sosial yg berlaku. Sejarah yg diklaim objektif justru berfungsi mempertahankan hegemoni epistemik & politik.
Konsekuensi dari pendekatan ini kepada penulisan sejarah sangat mendalam. Pertama, Foucault mendorong sejarawan untuk meninggalkan narasi akbar yg mendominasiseperti nasionalisme atau progresivismedan mulai memerhatikan bentuk-bentuk sejarah mikro yg selama ini diabaikan. Perhatian dialihkan dari elite penguasa ke praktik-praktik sehari-hari, dari monumen ke tubuh, dari hukum negara ke disiplin lokal.
Kedua, pendekatan ini menuntut pencerahan kritis bahwa sejarawan tidak berdiri di luar sistem kekuasaan. Setiap tulisan sejarah mengandung posisi ideologis, bahkan ketika diklaim ilmiah. Ketiga, dengan meruntuhkan klaim universalitas sejarah, Foucault membuka ruang bagi historiografi yg pluralistik. Tidak ada satu versi sejarah yg final, melainkan kumpulan narasi yg saling berinteraksi, bertentangan, atau bahkan saling membatalkan.
Melalui dekonstruksi historiografi ini, Foucault tidak sedang menafikan pentingnya sejarah, melainkan mengajak untuk melihat sejarah sebagai konstruksi wacana yg sering dipertaruhkan. Sejarah tidak mencerminkan masa lalu, tetapi jadi arena konflik makna & perebutan otoritas.
Di tengah gelombang politisasi masa lalu & manipulasi memori kolektif, pembacaan kritis kepada sejarah ala Foucault menawarkan alat intelektual untuk membongkar narasi dominan & mengungkap kuasa yg tersembunyi dalam teks sejarah.
Dalam dunia yg kian terjerat fiksi-fiksi ideologis yg dikemas sebagai fakta sejarah, dekonstruksi foucaultian tetap relevan sebagai upaya membebaskan sejarah dari klaim-klaim tunggal kebenaran.