Loading Now

Dari Legitimasi Elektoral Menuju Koordinasi Teritorial

Dari Legitimasi Elektoral Menuju Koordinasi Teritorial

Dalam konsepsi demokrasi elektoral, pemilihan kepala daerah secara langsung sering dianggap sebagai perwujudan dari prinsip kedaulatan rakyat (popular sovereignty).Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pemilihan langsung kepala daerah di Indonesia, khususnya untuk jabatan gubernur, justru menyisakan sejumlah problem struktural yg patut dievaluasi secara kritis.

Realitas empiris membuktikan bahwa tingkat literasi politik (political literacy) masyarakat masih jauh dari ideal. Porsi kelompok yg memilikipolitical reasoningyang baik relatif kecil dibandingkan total populasi pemilih. Sebaliknya, beberapa akbar pemilih justru didorong oleh faktor-faktor emosional, bukti diri lokal, loyalitas primordial, atau bahkan praktik transaksionalitas politik. Fenomena ini berujung pada dominasiuninformed votersyang menciptakan kualitas pemilu tidak sering berkorelasi positif dengan kualitas pemimpin yg terpilih.

Kecenderungan ini diperparah oleh fakta bahwa beberapa akbar masyarakat pada dasarnya tidak terlalu peduli dengan kontestasi politik di tingkat daerah. Yang lebih mereka butuhkan adalah terpenuhinya kebutuhan dasar, seperti stabilitas harga pangan, akses layanan kesehatan, pendidikan, serta lapangan kerja yg layak. Selama aspek-aspek kesejahteraan tersebut tersedia, masyarakat cenderung bersikap apatis kepada dinamika politik lokal maupun nasional.

Dengan demikian, keterlibatan masyarakat secara luas dalam pemilihan kepala daerahterutama untuk posisi setingkat gubernursering kali justru menghasilkanpolicy distortion. Pemimpin yg terpilih lebih banyak didorong oleh kepentingan pragmatis jangka pendek, bukan atas dasar kapabilitas, integritas, atau visi pembangunan jangka panjang.

Jika dianalisis dari aspek tata kelola pemerintahan(governance), posisi gubernur sejatinya memiliki peran strategis sebagai pejabat yg menolong tugas eksekutif tingkat pusat dalam dimensi kewilayahan. Gubernur mengelola wilayah administratif yg luas & berfungsi sebagai jembatan antara pemerintahan pusat dengan pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Dari Legitimasi Elektoral Menuju Koordinasi Teritorial

Dalam struktur birokrasi, menteri merupakan pembantu presiden di bidang sektoral, sedangkan gubernur adalah pembantu presiden dalam cakupan teritorial. Dengan mengatakan lain, gubernur memegang fungsi administratif sebagai pengelola wilayah yg bertugas memastikan kebijakan nasional dapat diimplementasikan secara efektif di provinsi yg dipimpinnya.

Namun, dengan prosedur pemilihan langsung, rekanan antara gubernur & presiden kerap kali mengalami disonansi politik. Gubernur merasa memiliki legitimasi elektoral sendiri, sehingga tak jarang muncul ketegangan antara kepala daerah dengan pemerintah pusat. Hal ini menimbulkandualism of authorityyang pada akhirnya berdampak pada disharmoni koordinasi pemerintahan.

Salah satu akibat paling nyata dari pemilihan kepala daerah secara langsung adalah tingginyacost of election.Penyelenggaraan pilkada menuntut pembiayaan yg besar, baik dari sisi negara maupun dari kandidat yg berkontestasi. Negara harus menyediakan anggaran miliaran rupiah untuk setiap penyelenggaraan pilkada gubernur, sedangkan kandidat mengeluarkan dana pribadi atau dana kolektif politik yg sangat akbar untuk kampanye, logistik, hingga penggalangan suara.

Dari Legitimasi Elektoral Menuju Koordinasi Teritorial

Kondisi ini memicu fenomenapolitical rentseeking, di mana kandidat yg terpilih merasa perlu mengembalikan modal politiknya melalui berbagai cara, mulai dari penerbitan izin proyek, perizinan tambang, penyalahgunaan anggaran, hingga jual beli jabatan. Korupsi di tingkat lokal pun jadi praktik yg hampir struktural.

Jika prosedur penunjukan gubernur oleh presiden diberlakukan,problem political financingdapat diminimalisasi secara signifikan. Negara tidak perlu mengalokasikan anggaran akbar untuk penyelenggaraan pilkada gubernur, & kandidat tidak perlu membangun jaringan patronase untuk mengamankan dukungan politik. Anggaran tersebut dapat dialihkan untuk program pembangunan atau penguatan pelayanan publik yg lebih produktif.

Beberapa negara lain di dunia sudah menerapkan prosedur penunjukan pejabat pemerintahan tingkat daerah oleh kepala pemerintahan nasional atau kepala negara.

Singapura, misalnya, tidak mengenal pemilihan kepala daerah secara langsung. Seluruh administrasi pemerintahan diatur & dikendalikan langsung oleh kabinet yg dipimpin oleh Perdana Menteri. Wali kota & pejabat administratif lainnya adalah bagian daricivil serviceyang ditunjuk & diangkat berdasarkanmeritocracy.

Di China, kepala pemerintahan di tingkat provinsi ditunjuk oleh pemerintah pusat melaluicadre management system. Sistem ini memastikan bahwa pejabat daerah memiliki loyalitas penuh kepada kebijakan nasional & bebas dari lomba elektoral yg berpotensi menimbulkanpolitical fragmentation.

Korea Selatan pada masa sebelum reformasi desentralisasi juga menerapkan sistem penunjukan gubernur oleh presiden. Model ini diterapkan untuk memastikan konsistensi kebijakan pembangunan antarwilayah. Hanya setelah perkembangan demokratisasi di era 1990-an, Korea Selatan kemudian mengadopsi sistem pemilihan langsung untuk kepala daerah.

Praktik di berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa prosedur penunjukan pejabat daerah oleh pemerintah pusat bukanlah sesuatu yg asing atau tidak lazim dalam tata kelola pemerintahan modern. Setiap negara memiliki otonomi untuk menentukan prosedur yg paling sesuai dengan konteks sosial, budaya, & politiknya masing-masing.

Mekanisme penunjukan gubernur oleh presiden menawarkan beberapa keuntungan yg signifikan dari perspektif administrasi & efisiensi pemerintahan.

Pertama, efisiensi biaya politik.Dengan menghapus proses pilkada gubernur, negara dapat menghemat anggaran dalam jumlah besar. Anggaran tersebut dapat dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, peningkatan kualitas pendidikan, atau layanan kesehatan. Prinsipallocativeefficiencydapat diterapkan secara optimal.

Kedua, harmonisasi kebijakan pusat & daerah.Gubernur yg ditunjuk presiden cenderung lebih mudah berkoordinasi dengan pemerintah pusat dalam menjalankan kebijakan strategis.Line of commandmenjadi lebih jelas, sehingga potensi konflik antara pusat & daerah dapat diminimalisasi.

Ketiga, meritokrasi & profesionalisme.Penunjukan gubernur membuka ruang seleksi berbasismerit system. Presiden dapat menunjuk figur yg memiliki kompetensi teknokratik, integritas tinggi, & rekam jejak profesional yg kredibel. Ini sejalan dengan prinsipgood governance.

Keempat, pengurangan polarisasi sosial.Pilkada sering kali memicu polarisasi sosial & konflik horizontal di masyarakat. Dengan prosedur penunjukan, risiko perpecahan akibat kontestasi elektoral dapat ditekan. Masyarakat tidak perlu lagi terbelah dalam dukungan politik yg sering berujung padasocial tension.

Kelima, stabilitas pemerintahan daerah.Gubernur yg ditunjuk akan bekerja dalam kerangka waktu tertentu sesuai evaluasi kinerja. Presiden memiliki kewenangan untuk mengganti gubernur yg dinilai tidak kompeten tanpa harus melalui proses politik yg berbelit-belit. Hal ini meningkatkanadministrative stability.

Wacana penunjukan gubernur oleh presiden tentu akan menghadapi kritik dari kalangandemocracy advocacy groups.Mereka berpotensi menilai kebijakan ini sebagai bentukdemocraticbackslidingatau kemunduran demokrasi. Namun, perlu dicatat bahwa demokrasi bukanlah semata soal pemilu, melainkan tentang efisiensi pemerintahan & pelayanan publik.

Jika proses pemilihan langsung justru menghasilkan fragmentasi politik, biaya sosial-ekonomi yg tinggi, serta konflik horizontal yg merugikan, maka sudah semestinya negara mencari alternatif lain yg lebih fungsional. Prinsippragmatic democracymengajarkan bahwa demokrasi harus sanggup beradaptasi dengan realitas & kebutuhan masyarakat.

Sudah saatnya bangsa ini mengerjakanreengineeringterhadap sistem pemerintahan daerah. Demokrasi prosedural harus diimbangi dengandemocraticefficiencyagar pemerintahan berjalan efektif & berpihak pada kepentingan publik. Demokrasi yg terlalu prosedural tanpa mempertimbangkan kapasitas masyarakat dalaminformed decision makingjustru berpotensi menciptakan paradoks demokrasi.

Penunjukan gubernur oleh presiden bukanlah kemunduran demokrasi, melainkan adaptasi kepada kebutuhan pemerintahan yg lebih rasional & terkoordinasi. Pemerintah daerah, khususnya di tingkat provinsi, membutuhkan figur yg sanggup menjembatani kepentingan nasional dengan realitas lokal tanpa tersandera oleh kepentingan politik elektoral yg sempit.

Jika prioritas utama adalah kesejahteraan rakyat, stabilitas politik, efisiensi anggaran, & pembangunan yg berkesinambungan, maka wacana penunjukan gubernur oleh presiden layak untuk dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif sistem yg lebih adaptif & pragmatis.

wgnewss.com adalah segala laporan mengenai peristiwa, kejadian, gagasan, fakta, yang menarik perhatian dan penting untuk disampaikan atau dimuat dalam media massa agar diketahui atau menjadi kesadaran umum.

  1. https://paste.beba.st/
  2. https://shortlyfi.com/
  3. https://socialprooff.com/
  4. https://twitemedia.com/
  5. https://gametendangbola.com/
  6. https://kringtube.com/
  7. https://allgamerandom.com/
  8. https://qrgenerator1.com/
  9. https://multitoolspro.com/
  10. https://newstreetjob.com/
  11. https://bignewss.com/
  12. https://batam.co.id/
  13. https://wgnewss.com/
  14. https://kalilinux.info/
  15. https://wiblinks.com/
  16. https://magictoolsthemes.com/
  17. https://sunting.id/
  18. https://wagam.net/
  19. https://www.billspennsyphotos.com/
  20. layarkaca21
  21. mulia77
  22. maxwin25
  23. slot25
  24. https://slot25.it.com/
  25. slot ngacir
  26. lk21
  27. http://conciliacion-metrowifi.etapa.net.ec/
  28. https://nokephub.com/