[CERPEN] PINTU LANGIT PART 2: Jejak Penjaga Langit
Kertas, Peta, & Rasa Tak Nyaman
Pagi itu, saya bangun lebih cepat dari biasanya. Matahari belum muncul sepenuhnya di ufuk timur, tetapi hawa dharap yg menelusup hingga tulang menciptakanku enggan kembali ke kasur.
Sisa mimpi semalamatau apapun itumasih melekat kuat di kepalaku. Kakek berjubah abu-abu, kabut bercahaya, & gerbang batu raksasa
Dan ya, kertas peta aneh itu masih ada.
Kulihat lagi benda itu, kusentuh permukaannya yg kasar & bau kayu terbakar. Tulisannya samar, nyaris tak terbaca. Tapi ada satu simbol yg mencoloksebuah lingkaran berisi tujuh titik kecilyang membentuk pola seperti gugus bintang.
Kupelototi terus kertas itu hingga akhirnya suara Ibu memanggil dari luar kamar, Reno, ayo sarapan. Nanti kita ke Telaga Warna!
Aku buru-buru menyelipkan kertas itu ke saku jaketku. Hari ini, saya harus kembali ke gerbang Pintu Langit, diam-diam.
Langkah Diam-Diam
Setelah sarapan, Ayah & Ibu bersiap membawa adik keliling kawasan wisata. Kupura-pura ikut, tetapi di parkiran, saya kabur ke arah berlawanan. Kembali menapaki tangga batu ke tempat itu.
Langit mendung. Kabut mulai turun, lagi-lagi terlalu cepat untuk jam segini.
Saat saya mencapai letak gerbang, tempat itu kosong total. Tidak ada wisatawan, tidak ada warung buka, bahkan suara alam pun terasa… aneh. Seolah segala sesuatu sedang menahan napas.
Di depan gerbang batu itulah saya berdiri. Kulihat dari dekatbangunan itu tidak seperti yg kulihat kemarin. Lebih besar, lebih tua, & lebih hidup.
Ada ukiran samar di dindingnya. Simbol-simbol aneh yg entah kenapa terasa akrab di pikiranku. Saat kusentuh salah satu ukiran, kertas dalam sakuku bergetar. Spontan saya mengeluarkannya, & di saat itu juga, titik-titik di dalam peta mulai menyala perlahan.
Satu titik menyala merah.
Dan seketika itu pulasuara berbisik kembali terdengar.
“Jejak perdana sudah ditemukan.”
“Masuki kabut. Jangan ragu.”
“Tapi ingat, waktu di sini bukan milikmu.”
Dunia Di Antara
Aku tak tahu kenapa, tetapi kakiku melangkah sendiri. Kabut menebal seperti tirai, menelanku perlahan. Udara jadi aneh. Lebih hangat, tetapi juga lebih berat. Begitu saya melewati lengkungan gerbang batu, duniaku berubah.
Bukan lagi tempat wisata.
Bukan lagi Dieng yg tadi pagi.
Aku berada di hutan cemara tinggi, di mana cahaya mentari menembus seperti sinar ilahi. Angin bertiup pelan, membawa aroma kembang & dupa. Di kejauhan, suara lonceng kecil terdengar samar.
Aku tahu ini bukan mimpi.
Aku berada di antara duniatempat yg tadi disebut kakek itu.
Dan di hadapanku berdiri sesosok gadis berambut panjang, mengenakan pakaian adat putih keperakan. Wajahnya teduh, matanya menatap dalam.
Kau datang, katanya. Sudah lama kami menunggu.
Namaku Shinta
Gadis itu mengenalkan diri sebagai Shinta, penjaga sisi gerbang dari dunia ini. Ia bukan manusia biasa, tetapi bukan makhluk halus juga. Aku bagian dari penjaga, sama seperti kakekmu dulu, katanya.
Kakek? Kakek siapa?
Tentu kau belum tahu, lanjutnya. Kakek buyutmu, yg tinggal di Kejajar dulu, adalah salah satu Penjaga Langit terakhir. Tapi ia memilih melepaskan tugasnya demi menikah dengan manusia biasa. Darahmu, Reno… masih menyimpan garis itu.
Aku terdiam. Tak tahu harus percaya atau menertawakan.
Dan kini, pintu terbuka lagi karena ancaman baru datang. Dunia manusia terlalu rakus, & batas antara alam terlihat & tidak terlihat semakin tipis. Penjaga baru harus bangkit. Kautelah dipanggil.
Ujian Pertama: Menyusuri Danau Terbalik
Shinta membawaku ke sebuah tempat yg ia sebut Danau Terbalikdanau di antara dimensi yg kalau kau melihat ke dalamnya, kau akan melihat bukan pantulanmu, tetapi siapa dirimu sebenarnya.
Setiap calon penjaga harus melewatinya, katanya.
Aku mengangguk, meski masih tidak yakin. Tapi saya tidak dapat mundur.
Saat kulangkahkan kaki ke tepi danau, airnya tenang, bening seperti cermin. Dan ketika saya menatap ke permukaan, aku melihat sosok lain.
Itu akutapi bukan saya yg sekarang.
Ia mengenakan pakaian penjaga, berdiri di atas kabut, & menatapku dengan mata yg seperti langit malam. Tapi di belakangnya, muncul sosok hitam berwajah kaburmusuh.
Seketika itu juga, air danau berputar. Gelombang kabut muncul dari tengahnya & membentuk sesosok makhluk bayangan yg bergerak ke arahku!
Hadapi dia! teriak Shinta.
Tapi saya tidak punya senjata!
Kau punya cahaya!
Aku menutup mata, panik. Tapi dalam gelap itu, suara dalam hatiku berbisik: Percaya. Percaya. Kau bukan anak biasa.
Saat kubuka mata, tanganku memancarkan cahaya keperakansama seperti jubah si kakek semalam. Cahaya itu membentuk perisai & menahan makhluk bayangan yg menghantamku. Dan dalam sekali kilat, semuanya kembali sunyi.
Aku masih berdiri.
Dan danau itu kini memantulkan wajahku, wajah seorang penjaga.
Waktu di Dunia Nyata
Setelah itu, Shinta berkata, Jejak pertamamu sudah lengkap. Masih ada enam jejak lainnya.
Tapi saya harus pulang dulu, jawabku. Orangtuaku pasti panik.
Ia mengangguk. Kembali melalui kabut. Tapi ingat: waktu tidak sama di dunia kami & dunia manusia.
Saat saya kembali berjalan menembus kabut, dunia mulai memudar. Suara alam menghilang, digantikan suara ramaidan langkah kakidan
Reno!!
Itu suara Ayah.
Aku membuka mata. Kami kembali di tempat wisata. Aku berdiri tepat di depan gerbang batu. Tapi… hari sudah berganti. Bajuku lembap. Nafasku terengah. Dan di sekitarku, banyak orang berkumpul panik.
Apa yg anda lakukan?! Kamu menghilang hampir sehari! bentak Ibu sambil memelukku erat.
Aku… baru menyadari, waktu di dunia nyata memang berjalan berbeda.
Tanda di Tangan
Malam itu, di kamar penginapan, saya menatap peta yg tadi cuma memiliki satu titik menyala. Kini… dua titik menyala.
Dan di telapak tanganku, muncul tanda kecil berbentuk lingkaran bintang tujuh, samar seperti tinta air.
Aku tahu, ini baru permulaan.
Dan suara dalam hatikuatau mungkin suara dari kabutberbisik lagi:
“Tujuh jejak. Tujuh penjaga. Tujuh pintu. Kamu satu di antaranya.”