Bayangan Besar Bermata Merah di Hutan Vandeering
Cerita tentang Hutan Vandeering lebih sering dianggap dongeng oleh generasi muda. Tapi tidak bagi Garet. Ia tumbuh dengan cerita-cerita itu, mendengarnya dari kakeknya, yg mengklaim pernah melihat bayangan akbar dengan mata merah mengintai dari balik pepohonan saat ia masih bocah. Meskipun terdengar seperti kisah klasik untuk menakuti anak kecil supaya tak main terlalu jauh, Garet sering merasa ada kebenaran dalam cerita itu.
…Garet sering merasa ada kebenaran dalam cerita itu.
Ia masih ingat bagaimana tangan kakeknya sedikit bergetar setiap kali menyebut Hutan Vandeering. Suara sang kakek berubah pelan, seolah ada sesuatu dalam ingatannya yg harap dilupakan, tetapi tak pernah benar-benar hilang. Malam-malam tertentu, Garet kecil pernah melihat kakeknya terbangun dari tidur sambil bergumam dalam bahasa yg tak ia kenalisebelum cepat-cepat membaca doa & membakar dupa.
Ia juga masih mengingat jelas seorang tetua desa, Nenek Soma, yg sering duduk di beranda rumahnya sambil menenun kain tua & bercerita dengan suara pelan. “Kalau kau dengar bisikan dari hutan, nak… jangan jawab. Hutan itu tidak suka namamu dipanggil terlalu keras,” katanya suatu malam. Nenek Soma menghilang semalam saat Garet berumur sembilan tahun. Tubuhnya tak pernah ditemukan, cuma sandalnya yg ditemukan di pinggir hutan. Sejak itu, Garet percaya bahwa hutan dapat memilih siapa yg harap dibawanya.
Kini, di usianya yg ke-28, Garet bekerja sebagai fotografer dokumenter. Proyek terbarunya adalah mengeksplorasi tempat-tempat angker yg belum banyak dijamah orang. Ia harap menguak mitos & kenyataan, mempertemukan logika & legenda. Dan tentu saja, Hutan Vandeering masuk dalam daftar teratasnya.
Sebelum berangkat, Garet sempat mampir ke rumah Pak Marnu, satu dari sedikit tetua yg tersisa di desa Laskwood. Lelaki renta itu menatap Garet dengan mata sendu. “Kalau kau niat masuk ke sana, jangan bawa apa pun yg punya kenangan buruk. Hutan dapat mencium luka hati,” katanya. Lalu ia menyodorkan sebuah gelang dari akar berharap. “Ini bukan jimat. Tapi dia dapat tahu kalau kau mulai tersesat. Kalau warnanya berubah jadi hitam, jangan lanjut.”
Malam itu, Garet berdiri di tepi hutan, tripod & kamera tergantung di bahunya, tas carrier penuh perlengkapan menggantung di punggungnya. Di saku jaketnya terselip buku catatan kulit milik kakeknya, yg ditemukan di loteng rumah keluarga. Di dalamnya ada sketsa kasar peta Hutan Vandeering, catatan waktu-waktu tertentu di mana suara-suara aneh terdengar, & kisah tentang panggilan hutan.
Ia menyalakan headlamp & menyesuaikan lensanya. Udara malam menusuk, embun menggantung di udara & aroma lumut basah memenuhi paru-parunya. Ketika kakinya melangkah melewati batas pohon pertama, dunia berubah. Cahaya lampu jalan dari kota kecil Laskwood menghilang seketika, digantikan oleh kegelapan yg tampak lebih tebal daripada malam biasanya.
Garet menapaki jalan setapak yg samar. Suara ranting patah di bawah sepatu botnya menyatu dengan bisikan angin & decit jauh dari burung malam. Ia berjalan sekitar dua kilometer ke dalam sebelum menemukan sebuah area datar yg cukup terbuka untuk mendirikan tenda. Di sinilah ia akan bermalam. Dan menguji kebenaran legenda itu.
Pukul 23.00.
Tenda sudah berdiri. Kamera disiapkan dalam mode night vision & diarahkan ke arah barat, tempat kakeknya menandai lokasi suara. Garet duduk di kursi lipat sambil mencatat pengamatannya. Hingga saat itu, belum ada hal aneh terjadi. Tapi udara semakin dharap. Tidak biasa untuk bulan Mei.
Lalu, suara itu datang.
Pelan. Seperti nyanyian. Tapi tidak dalam bahasa yg ia kenal. Garet mematikan headlamp-nya & menajamkan pendengaran. Suara itu berasal dari arah timur, tidak jauh dari posisinya. Seakan seseorangatau sesuatusedang bernyanyi, mengalun sendu & merayap ke dalam jiwanya. Ia mengambil kamera & mulai merekam.
Detik berikutnya, suara itu berhenti.
Dan keheningan jadi lebih menakutkan dari suara tadi.
Tiba-tiba, dari balik semak-semak, terdengar suara langkah. Berat. Teratur. Seperti kaki telanjang menyentuh tanah basah.
Garet membeku.
Ia menyalakan kamera inframerah & mengarahkannya ke semak itu. Layar menampilkan sosok samar. Tinggi, ramping, dengan kepala miring ke satu sisi. Matanya merah menyala. Wajahnya tidak jelas, seperti kabur oleh kabut yg cuma menempel padanya. Sosok itu menatap lurus ke arah Garet. Kemudian tersenyum.
Garet mundur perlahan, tubuhnya menegang. Sosok itu tidak bergerak, cuma berdiri. Seolah menunggu. Kemudian, seperti asap, ia menghilang.
Pukul 01.30.
Garet masih terjaga. Ia menelusuri rekaman kameranya berulang kali. Sosok itu jelas tertangkap. Tapi di detik ketika ia menghilang, file video langsung rusak. Gambar jadi statis, & kemudian blank. Garet mencoba membukanya di laptop, tetapi hasilnya sama. Seolah rekaman itu memang tak diizinkan untuk eksis.
Ia membuka buku catatan kakeknya. Di bagian belakang, ada halaman yg dulu tidak pernah ia perhatikan. Ada simbol-simbol aneh di sana, menyerupai huruf-huruf kuno. Di bawahnya tertulis: “Jika kau melihatnya, jangan jawab panggilannya. Jangan menoleh kalau namamu dipanggil.” Di sampingnya tertulis dalam catatan berbeda & lebih miring: “Soma bilang mereka tak suka ditatap. Mereka cuma menjemput yg menyambut.”
Garet menelan ludah. Lalu terdengar suara lain. Bukan nyanyian kali ini.
Melainkan gumaman pelan, seperti seseorang memanggil namanya.
Gaaa…ret
Suara itu datang dari balik tenda.
Ia membeku. Suara itu tidak seperti suara manusia. Terlalu berat. Terlalu bergema. Dan meskipun samar, itu benar-benar menyebut namanya.
Ingat pesan dari buku, Garet menutup matanya. Ia menahan nafas. Suara itu terus memanggil, makin dekat. Lalu, tenda mulai bergoyang, seolah disentuh dari luar. Garet tak bergerak. Beberapa menit kemudian, semuanya hening kembali.
Ia tidak tidur malam itu.
Pagi hari tiba dengan lambat. Sinar mentari menerobos dedaunan & menyinari tenda Garet. Dengan tubuh lelah, ia keluar dari tenda & mengecek sekeliling. Tidak ada bekas apa pun. Tidak ada jejak, tidak ada tanda bahwa seseorang atau sesuatu pernah berada di sana.
Tapi ketika ia melihat kamera yg masih tergantung di tripod, ia tertegun. Lensa retak. Seolah ada tekanan kuat dari luar.
Dan ketika ia membuka tasnya, ia menemukan kertas baru terselip di antara buku catatan kakeknya. Kertas tua, menguning. Tulisan tangan yg bukan miliknya. Bukan tulisan kakeknya juga.
“Langkahmu sudah didengar. Pintu sudah terbuka. Kembalilah sebelum bayanganmu diambil.”
Garet merasa dadanya sesak. Ia memutuskan untuk segera keluar dari hutan. Namun setiap langkahnya seakan menciptakan hutan berubah. Jalur yg ia lalui semalam tidak lagi ada. Pohon-pohon terlihat berbeda. Hening. Tidak ada suara burung. Tidak ada serangga. Seolah-olah hutan menahannya.
Setelah berjalan lebih dari tiga jam, Garet menyadari bahwa ia berputar-putar di tempat yg sama. Ia menemukan kembali letak tendanya, meskipun ia merasa sudah berjalan jauh. Keringat dharap membasahi tubuhnya. Ia mencoba mengpakai kompas di jam tangannyajarumnya berputar liar.
Langit mulai berwarna keabu-abuan. Hutan yg semula tampak alami kini seperti melipat dirinya sendiri, memutar ruang & waktu. Garet merasa ada sesuatu yg mengamatinya, tak cuma dari kejauhan, tetapi dari dalam tanah, dari akar-akar pohon, bahkan dari udara. Suara-suara samar mulai terdengar lagigumaman yg seperti doa atau mantra dalam bahasa purba. Ia mulai berbicara sendiri, memohon supaya dapat keluar, supaya semuanya cuma mimpi buruk. Tapi hatinya tahu, ini nyata.
Hari berganti malam lagi.
Dan di tengah rasa putus asa, Garet akhirnya melihat sesuatu: sebuah bangunan tua dari batu, tertutup sulur & akar. Ia belum pernah melihat struktur seperti itu di peta mana pun. Di atas gerbangnya tertulis dengan huruf Latin: “Ad Altiora Nitimur.” “Kami berusaha menuju yg lebih tinggi.”
Garet masuk.
Di dalamnya, bau tanah lembap bercampur dengan aroma logam. Dinding-dindingnya penuh simbol, sama seperti di buku kakeknya. Di tengah ruangan, terdapat lingkaran akbar seperti altar, dengan bekas darah kering yg sudah berubah warna. Di sela-sela simbol itu, ia melihat paras yg familiar.
Nenek Soma.
Namun kali ini, ia tidak tua. Wajahnya muda, tetapi matanya kosong. Ia muncul dalam penglihatan sekilas, tersenyum, lalu lenyap.
Lalu terdengar suara lain. Kali ini bukan panggilan. Melainkan jeritan. Manusia. Penuh rasa sakit.
Garet berlari keluar.
Namun ia tidak lagi berada di tempat yg sama.
Sekelilingnya berubah. Hutan jadi lebih gelap, langit tak lagi tampak. Kabut turun tebal. Ia merasa kakinya terbenam dalam lumpur, meski ia masih berdiri di tanah keras.
Dan di tengah kabut, sosok itu muncul lagi.
Kini lebih jelas.
Dan kali ini, ia tidak sendiri. Di belakangnya, bayangan-bayangan lain mulai bermunculanseperti siluet manusia, tetapi bergerak tidak alami, patah-patah, seperti boneka yg dipaksa menari. Beberapa merangkak di tanah, lainnya bergelantungan dari dahan pohon. Mereka tidak bersuara, cuma memandang Garet dengan mata kosong atau tanpa mata sama sekali.
Tinggi dua meter, kulitnya hitam seperti arang, matanya merah membara, & dari punggungnya menjulur akar-akar yg bergerak sendiri. Ia tidak berjalan. Ia melayang. Dan senyumnya kini melebar hingga ke telinga, memperlihatkan deretan gigi yg tidak rata, tajam seperti pecahan kaca.
Ia tidak berbicara. Tapi Garet mendengar suaranya langsung di kepalanya.
“Kau sudah memanggil kami. Maka kami datang. Kini giliranmu menjawab panggilan.”
Garet harap lari. Tapi tubuhnya tak mau bergerak.
Dan saat makhluk itu menyentuh dahinya dengan satu jemari panjang, semuanya gelap.
Dua pekan kemudian.
Tim pencarian menemukan tenda Garet. Peralatannya lengkap. Tapi tidak ada jejak dirinya. Rekaman kamera cuma menampilkan kegelapan, kecuali satu file yg berhasil dibuka. File itu cuma berdurasi 12 detik. Di dalamnya, suara Garet terdengar, berbisik:
“Jangan jawab. Jangan lihat. Tapi sudah terlambat. Mereka melihatku…”
Setelah itu, file rusak.
Dan hingga kini, Garet tidak pernah ditemukan.
Setelah hilangnya Garet, suasana kota kecil Laskwood berubah. Desas-desus merajalela, bar kecil di tengah kota kecil itu jadi pusat bisik-bisik. Orang-orang membicarakan “bayangan merah” seperti masa lalu sudah bangkit. Beberapa mulai percaya, panggilan hutan sudah aktif kembalidan Garet hanyalah permulaan.
Setiap tanggal yg sama di tahun berikutnya, kamera perangkap yg dipasang oleh warga Laskwood di pinggir hutan sering menangkap sosok kabur berdiri di batas pohon. Menatap ke arah kota. Dengan mata merah menyala.
Tak cuma kamera yg jadi saksi. Beberapa anak mulai mengeluh mendengar bisikan dari arah hutan saat malam. Seorang bocah menyebut ada “pria bermata merah” berdiri di luar jendela kamarnya, tersenyum, lalu menghilang saat lampu dinyalakan.
Tahun berikutnya, seorang peneliti paranormal bernama Liona datang ke Laskwood untuk menyelidiki kasus Garet. Ia menemukan catatan Garet yg terselamatkan, serta salinan dari buku catatan kakeknya. Saat malam tiba, ia mencoba merekam suara dari hutan dengan mikrofon sensitif. Hasilnya: suara berbisik yg tidak dapat dijelaskan, namun saat dianalisis melalui spektogram, membentuk satu mengatakan berulang kali: “Pulangkan.”
Bahkan Pendeta Yovan dari gereja tua di bukit mulai mengganti isi khotbahnya. Ia bicara tentang batas-batas suci yg dilanggar manusia, tentang kekuatan gelap yg tidak boleh disentuh. Ia memperingatkan umatnya supaya menjauh dari hutan, bahkan saat mentari tinggi.
Dan suara pelan bergema melalui angin malam.
Aakuu Gaaaret
Lalu mulai muncul patung-patung kecil dari akar & tanah liat di halaman warga. Tidak ada yg mengaku menciptakannya. Bentuknya menyerupai paras tak bermata, tersenyum bengkok. Dalam seminggu, satu per satu keluarga yg berekonomi sanggup mulai meninggalkan kota tanpa jejak.