Bagaimana Kemunafikan Sangat Berguna Dalam Berpolitik ?

Dalam dunia politik, kita sering mendengar mengatakan “Munafik”. Kata ini identik dengan kepura-puraan, berkata A tetapi mengerjakan B, berbicara seolah pro-rakyat tetapi kebijakan justru menyakiti rakyat, menjanjikan perubahan tetapi setelah berkuasa justru mempertahankan status quo( Sebuah kondisi yg ada sekarang, dipertahankan apa adanya ).

Meski secara moral dianggap buruk, kenyataannya kemunafikan justru sering dipakai sebagai alat politik yg efektif.

Para pemimpin, partai, hingga lembaga pemerintahan terkadang tidak dapat sering berkata jujur. Ada kalanya mereka harus menampilkan paras yg berbeda demi menjaga stabilitas, meraih dukungan, atau mempertahankan legitimasi Politik.

Namun, sejauh mana kemunafikan ini dapat dianggap berguna? Mengapa ia begitu lekat dalam dunia politik? Mari kita bahas lebih dalam melalui lima sudut pandang yg berbeda.

Bab 1
Wajah Ganda Politik

Politik adalah sebuah pentas besar. Apa yg ditampilkan ke publik seringkali berbeda dengan kenyataan di balik layar. Seorang politisi dapat berdiri di podium, berbicara lantang tentang keadilan sosial, tetapi di ruang rapat tertutup ia sibuk melobi demi kepentingan kelompok tertentu.

Contoh nyata sering kita lihat dalam janji kampanye. Banyak calon pemimpin daerah atau presiden berjanji tidak akan menaikkan harga bahan bakar, listrik, atau tarif dasar lain yg membebani rakyat.

Namun begitu menjabat, kebijakan yg diambil justru sebaliknya, dengan dalih demi kestabilan ekonomi. Rakyat kecewa, tetapi bagi sang pemimpin, itu adalah langkah yg dianggap realistis.

Ilmuwan politik menyebut fenomena ini sebagai politik dua wajah. Satu paras ditujukan kepada publik supaya tampak idealis, satu paras lain ditujukan untuk dunia nyata yg penuh kompromi. Inilah bentuk kemunafikan yg paling kasat mata.

BAB 2
Menjaga Stabilitas

Salah satu alasan mengapa kemunafikan dipraktikkan adalah kebutuhan menjaga stabilitas. Dalam keadaan tertentu, kejujuran penuh justru dapat berbahaya.
Ambil contoh kondisi ekonomi.

Bila pemerintah secara gamblang mengumumkan bahwa perekonomian sedang sangat buruk, risiko kepanikan massal dapat muncul, investor menarik modal, Pajak semakin mencekik, & harga-harga melambung. Karena itu, pemerintah biasanya memilih kata-kata yg lebih diplomatis, Seperti ekonomi kita stabil, tantangan ada tetapi masih dapat kita atasi.

Di level internasional, hal yg sama terjadi. Amerika Serikat, misalnya, sering berbicara soal demokrasi & hak asasi manusia, tetapi tetap menjual senjata ke negara-negara yg melanggar prinsip tersebut.

Indonesia pun demikian, kerap menyerukan solidaritas dunia, tetapi ragu mengambil sikap tegas ketika ada kepentingan dagang yg terancam.

Kemunafikan di sini bukan sekadar kepura-puraan, tetapi strategi meredam konflik. Ia dianggap sebagai cara menjaga wajah di depan publik maupun kawan politik.

BAB 3
Citra & Elektabilitas

Dalam politik elektoral, citra adalah segalanya. Survei menunjukkan bahwa persepsi publik kepada kepribadian & citra kandidat lebih berpengaruh daripada program kerja yg rumit. Menurut data Lembaga Survei Indonesia (LSI), citra kandidat dapat menyumbang lebih dari 40% keputusan pemilih, sedangkan program kebijakan kurang dari 20%.

Hal ini menciptakan banyak politisi lebih fokus membangun pencitraan ketimbang bekerja nyata. Seorang calon legislatif yg jarang turun ke masyarakat tiba-tiba mendadak rajin masuk pasar, memakai baju sederhana, bahkan ikut makan di warung kaki lima.

Semua direkam kamera, lalu disebarkan ke media sosial. Publik melihat itu & merasa dekat, meski dalam keseharian sang politisi lebih sering berada di ruangan rapat hotel mewah.

Kemunafikan dalam bentuk pencitraan ini dianggap wajar dalam politik. Yang penting bagaimana tampil di mata rakyat.

Soal apakah sikap itu asli atau palsu, publik sering kali tak punya waktu untuk menyelidiki lebih jauh.

BAB 4
Bagaimana Dengan Negara Kita ?

Di Negara ini, praktik kemunafikan politik bukanlah hal asing. Hampir setiap partai, dari yg akbar hingga kecil, punya rekam jejak janji manis yg tidak konsisten.

Isu korupsi adalah contoh paling jelas.

Hampir semua partai mengklaim mendukung pemberantasan korupsi. Namun, data KPK menunjukkan ratusan kader partai justru ditangkap karena kasus suap, gratifikasi, hingga jual beli jabatan.

Bahkan beberapa pejabat yg sebelumnya bersuara lantang soal moral politik akhirnya ikut terseret kasus.

Kemunafikan juga terlihat pada koalisi politik. Partai yg dulunya oposisi dapat tiba-tiba bergabung ke pemerintah dengan alasan demi kepentingan bangsa.

Padahal, motif sebenarnya lebih ke arah menjaga kursi kekuasaan. Publik pun bingung, mana yg benar-benar berpihak pada rakyat, mana yg sekadar bermain taktik.

Dalam kebijakan publik, fenomena serupa muncul. Pemerintah dapat berjanji soal anggaran pro-rakyat, tetapi realisasinya lebih banyak tersedot ke proyek mercusuar atau belanja birokrasi.

Rakyat kecil sering cuma jadi objek pencitraan, bukan subjek utama kebijakan.

BAB 5
Kebutuhan

Meski sering dikritik, kenyataannya kemunafikan masih dianggap berguna di dunia politik. Ia ibarat pelumas mesin: menciptakan roda kekuasaan tetap berputar dengan mulus.

Tanpa kepura-puraan, konflik dapat pecah lebih cepat, koalisi dapat bubar, & stabilitas negara terguncang.

Namun, risiko akbar juga mengintai. Jika kemunafikan terlalu sering dilakukan, kepercayaan publik akan hilang. Demokrasi dapat lumpuh karena rakyat apatis: mereka merasa semua politisi sama saja, cuma pandai bicara tetapi tak pernah menepati janji.

Sejarah mencatat, banyak pemimpin tumbang bukan karena lawan politik, tetapi karena kehilangan kepercayaan rakyat akibat sikap yg tidak konsisten.

Dari era kejatuhan Presiden Nixon di Amerika akibat skandal Watergate, hingga runtuhnya rezim-rezim otoriter di dunia ketiga, semuanya punya pola yg sama: kemunafikan yg terlalu lama dipelihara akhirnya terbongkar.

Politisi mungkin butuh kemunafikan sebagai strategi jangka pendek. Tapi bila terus-menerus dijalankan, ia dapat berubah jadi bumerang yg menghancurkan reputasi, partai, bahkan negara itu sendiri.

Kemunafikan dalam politik adalah paradoks. Di satu sisi, ia berfungsi sebagai strategi bertahan, menjaga stabilitas, & membangun citra. Di sisi lain, ia dapat jadi racun yg menghancurkan kepercayaan publik bila berlebihan.

Bagi rakyat, pencerahan kritis sangat penting. Kita tidak dapat cuma menelan bulat-bulat janji & pencitraan.

Yang perlu dilakukan adalah memantau konsistensi antara ucapan & tindakan politisi. Dengan begitu, ruang bagi kemunafikan dapat dipersempit, & demokrasi dapat tetap sehat.

Politik mungkin memang tidak pernah benar-benar bersih dari kepura-puraan. Tapi masyarakat yg cerdas dapat membatasi sejauh mana kemunafikan itu mempengaruhi hidup mereka.

Pada akhirnya, kekuasaan tanpa kepercayaan rakyat hanyalah sebuah pondasi bangunan yg menunggu waktu untuk runtuh.