Loading Now

Membayangkan Kiai tanpa Indonesia (Juz 2)

Membayangkan Kiai tanpa Indonesia (Juz 2)

Konten Sensitif

Buka

Tak ada yg tahu bagaimana itu terjadi. Suatu malam di tengah acara halaqah akbar bertema Menjaga Tradisi di Tengah Arus Globalisasi, tanah lapang tempat para kiai berkumpul mendadak runtuh. Sebuahsinkholeraksasa menganga seperti lubang hitam yg kelaparan, menelan puluhan kiai bersorban & bersarung ke dalam perut bumi.

Beberapa detik kemudian, mereka terlemparbukan ke akhirat, bukan pula ke alam barzakh, melainkan ke sebuah desa kecil di provinsi Friesland, Belanda utara. Salju turun tipis. Sapi-sapi berdiri bingung di kejauhan, menatap rombongan manusia berbusana asing yg muncul entah dari dimensi mana. Seorang kiai tua mengusap salju dari sorbannya & berbisik pelan, Sepertinya kita bukan di Jombang.

Awalnya mereka panik. Tak ada warung soto, tak ada toa masjid, bahkan tak ada sinyal grup WhatsApp alumni pesantren. Tidak ada suara azan, cuma suarakerkklok(lonceng gereja) yg berdentang dari menara batu berumur ratusan tahun. Tapi para kiai tak kehilangan akal. Seperti biasa, mereka mengadakan rapat. Dihadiri oleh empat Kiai sepuh, dua belas kiai muda & seekor domba tersesat bernama Olaf, mereka duduk melingkar di sebuah lumbung tua, bekaskaaspakhuis(gudang keju) yg aromanya cukup kuat untuk menciptakan siapa pun istighfar tiga kali.

Salah satu kiai muda membuka pembicaraan dengan pertanyaan eksistensial, Ini hijrah atau nyasar, Pak Yai? Seorang kiai senior, mantan pengasuh pesantren & dosen terbang filsafat Islam paruh waktu, menjawab dengan tenang, Kadang hidayah itu menyamar jadi kecelakaan geologis.

Diskusi lalu mengarah pada rencana besar: bertahan hidup, berdakwah, dantentu sajamenjaga tradisi. Tapi bukan sembarang dakwah. Ini bukan saatnya ceramah biasa dengan pengeras suara rakitan. Ini medan yg lain. Mereka sadar, mereka kini adalahreligieuze minderheid(minoritas religius) di negeri sekuler, di tanah di mana liberalisme bukan isu, tetapi sistem operasi. Maka mereka menggali kembali sejarah: bagaimana parazendeling(misionaris) datang ke Nusantara dengan senyum, sekolah gratis, & obat cacing. Dan mereka pun tersadarini saatnya membalas.

Ingat, mengatakan seorang kiai dengan janggut seputih salju di luar lumbung, dulu mereka datang ke negeri kita dengan sekolah gratis, obat cacing, & janji surga dalam brosur warna-warni. Sekarang giliran kita.
Kita dirikanmulticulturelepesantren(pesantren multikultural), lengkap dengan barista bersarung & podcast tafsir dalam bahasa Belanda. Kita ajarkan mereka ngajipelan-pelan, sambil yoga.
Tak perlu paksa syahadat. Cukup buat mereka ragu pada sekularisme. Selebihnya biar santri TikTok yg bergerak.

Rencana itu kemudian diberi nama sandi:Omgekeerde Infiltratie 2.0Reverse Infiltrasi. Sebuah strategizendelingstijlterugmissie(misi balik bergaya misionaris), halus & penuh estetika. Mereka memulai dari hal kecil: membukahalalkookcursusuntuk para ibu lokal, mengajarkan resep rendang sambil menyelipkan kisah Sunan Bonang. Para kiai belajar menciptakan konten YouTube dengan intro yg ramah algoritma. Mereka menyulap lumbung keju menjadigemeenschapsruimte(ruang komunitas), lengkap dengan musholla beraroma keju Edam & mihrab menghadap kiblat dengan bantuan Google Maps & ijtihad darurat.

Anak-anak muda Belanda yg awalnya penasaran kini mulai rutin datang. Mereka menyebut tempat ituHuis van Licht(House of Light),meski beberapa warga lebih suka menyebutnyahet mysterieuze magazijn metmannen in jurken(gudang misterius berisi lelaki berjubah). Tapi para kiai tak gentar. Mereka tahu sejarah ada di pihak mereka. Bukankah dulumissiescholen(sekolah-sekolah misi) itu juga awalnya cuma rumah biasa dengan papan nama manis?

Yang menarik, dalam waktu tiga bulan, para kiai berhasil membentuk jaringan dakwah berbasis kulturaltanpa perlu menyebut mengatakan dakwah. Mereka menggelar kajian yg dikemas sebagaiinterreligieus spiritueelreflectiekanaal(forum refleksi spiritual antaragama), di mana tafsir surat Al-Kahfi berdampingan dengan kutipan Rumi, Kierkegaard, & musik ambient. Beberapa warga desa yg sebelumnya skeptis mulai rutin datang, awalnya karena kopi hitam gratis), lalu pelan-pelan karena merasa ada yg hangat di sini.

Kiai muda mulai diundang keculturele festivals, di mana ia membacakan syair-syair sufistik sambil memainkan gamelan. Seorang kiai paruh baya jadi kolumnis tetap didorpskrant(koran desa), menulis tentangBuurtleven volgens een filosoof uit het Oosten(kehidupan bertetangga menurut seorang filsuf dari Timur).

Namun tentu saja, tidak semua berjalan mulus. Aparat lokal mulai curiga. Apakah ini sekte? tanya seorangwijkagent(polisi lingkungan) yg bingung melihat antrean warga belajar huruf Arab. Mereka pun mengirimreligieadviseurs(penyuluh agama negara) dansecularisme-expertsuntuk memantau. Tapi para kiai sudah siap. Mereka membuka forumpluriforme dialoog, dengan moderator lulusan pesantren yg fasih lima bahasa & empat dialek postmodernisme.

Saat wawancara dengan media lokal, seorang kiai menjelaskan: Kami bukan harap mengganti budaya. Kami cuma menawarkanspirituele optieslain, seperti IKEA menawarkan banyak model rak. Jawaban itu viral, disukai ribuan orang, & menciptakan seorang ateis di Amsterdam merenung selama seminggu penuh.

Lama-kelamaan, kehadiran para kiai tidak lagi dianggap asing. Mereka jadi bagian dari lanskap desaseperti kincir angin, keju tua, & sapi-sapi pemikir. Anak-anak kecil mulai memanggil merekaopa sorban, & warga mulai menanyakan kapanRamadanvastendimulai karena harap ikut merayakan keheningan bersama.

Tanpa terasa, dalam waktu enam bulan, pesantren itu tidak cuma bertahan. Ia tumbuh. Bukan cuma sebagai pusat kajian Islam, tetapi sebagai ruanginterculturele interactie, tempat nilai-nilai pesantren berjumpa dengan dunia Eropa dalam bentuk yg lembut namun subversif. Mereka tidak menaklukkan Belanda. Mereka cuma menyusup, perlahan, dengan semangat kolonial gaya baruberbalut sarung & kopi tubruk.

Seorang kiai tua, yg kini dipanggil Sheikh van Friesland,menulis di jurnal pribadinya:
Dulu mereka datang dengan kapal, kitab, & mimpi menaklukkan. Kini kami datang dengan gravitasi, Google Translate, & ingatan panjang tentang apa itu penjajahan. Kami tidak mengulangi sejarah. Kami mengeditnya.

Dan entah karena cuaca, takdir, atau algoritma YouTube, suatu malam salju turun lebih deras dari biasanya. Para kiai duduk bersarung di tepi perapian, menatap ke luar jendela lumbung keju yg kini sudah berubah jadi pusat peradaban mikro. Seorang Kiai muda membuka laptop & membaca komentar dari netizen Belanda:Ik weet niet waarom, maar ik huil bij deze video van een opa die uitleg geeft over wudhu. (Aku tak tahu kenapa, tetapi saya menangis menonton video seorang kakek yg menjelaskan cara wudhu.) Para kiai tertawa kecil. Mereka tahu, sejarah sedang bergeser. Bukan oleh perang, bukan oleh traktat, tetapi oleh video 60 detik & secangkir kopi.

Maka mereka menutup malam itu dengan doa panjang, bukan lagi minta dikembalikan ke Indonesia, tetapi supaya sinyal internet tetap stabil & dana kas cukup untuk beli mic baru. Sebab kini mereka tahu: kalau kolonialisme dulu dimulai dari pelabuhan, infiltrasi balik ini cukup dimulai dari WiFi & sepotong keju.

wgnewss.com adalah segala laporan mengenai peristiwa, kejadian, gagasan, fakta, yang menarik perhatian dan penting untuk disampaikan atau dimuat dalam media massa agar diketahui atau menjadi kesadaran umum.

  1. https://paste.beba.st/
  2. https://shortlyfi.com/
  3. https://socialprooff.com/
  4. https://twitemedia.com/
  5. https://gametendangbola.com/
  6. https://kringtube.com/
  7. https://allgamerandom.com/
  8. https://qrgenerator1.com/
  9. https://multitoolspro.com/
  10. https://newstreetjob.com/
  11. https://bignewss.com/
  12. https://batam.co.id/
  13. https://wgnewss.com/
  14. https://kalilinux.info/
  15. https://wiblinks.com/
  16. https://magictoolsthemes.com/
  17. https://sunting.id/
  18. https://wagam.net/
  19. layarkaca21
  20. mulia77
  21. maxwin25
  22. slot25
  23. https://slot25.it.com/
  24. slot ngacir
  25. lk21
  26. http://conciliacion-metrowifi.etapa.net.ec/
  27. https://nokephub.com/