[CERPEN] PINTU LANGIT PART 3: Penunggu Gunung Prau
Kabut Tengah Malam
Aku terbangun karena suara gesekan di jendela kamar penginapan.
Bukan angin. Bukan ranting.
Suara itu seperti kuku menggaruk kaca.
Saat kulirik jam, jarumnya menunjuk pukul 01:13. Semua orang tidur. Tapi udara di kamar mendadak dharap tak wajar. Aku bangun pelan, berjalan ke jendela… & di luar sanakabut.
Bukan kabut biasa. Kabutnya gelap.
Dan di tengahnya, kulihat siluet seseorangtidak bergerak, cuma berdiri menatap ke arahku. Tubuhnya tinggi, kepalanya sedikit condong ke kanan. Dan… matanya menyala merah samar.
Aku mundur, jantungku berdegup kencang.
Lalu suara itu datang lagi. Bisikan yg bukan milikku.
“Gunung Prau sebelum fajar atau jejakmu akan hilang.”
Aku memegang peta yg kusimpan di tas. Titik ketiga… menyala.
Diam-Diam Meninggalkan Penginapan
Aku tahu ini gila. Tapi kalau ini bagian dari jejak, saya harus berangkat.
Kuselipkan jaket tebal, senter, & peta ke dalam tas.
Kucatat pesan singkat untuk orang tua, alasan “hanya harap lihat sunrise”(meski ini jam 1 pagi). Lalu saya keluar diam-diam.
Dieng tengah malam benar-benar sepi. Hanya suara serangga & tiupan angin yg terdengar.
Jalan menuju basecamp Gunung Prau terasa seperti lorong menuju tempat asing.
Sampai di kaki gunung, saya sadar: tidak ada pendaki lain.
Basecamp kosong. Pintu gerbang terbuka lebar.
Dan kabut gelap itu… menungguku di jalur.
Pendaki Misterius
Baru sekitar 20 menit mendaki, saya berjumpa seorang lelaki tua dengan topi jerami.
Kulitnya legam, matanya tajam tetapi ramah. Ia memanggilku, Nak, malam-malam begini naik gunung? Sendiri pula?
Aku gugup. Eh iya, Pak. Mau lihat sunrise.
Dia tersenyum tipis. Sunrise? Kalau kabutnya seperti ini, yg kau lihat bukan matahari.
Aku terdiam.
Kalau mau hingga atas, jangan tengok ke belakang. Apapun yg kau dengar, jangan.
Sebelum saya sempat bertanya maksudnya, dia berjalan duluan, menghilang di tikungan. Anehnya, meski saya mempercepat langkah, saya tidak pernah dapat mengejarnya.
Suara di Belakang
Setengah perjalanan, kabut makin tebal. Senterku cuma menembus jarak satu meter.
Lalu terdengar langkah kaki di belakangku.
Perlahan….
Mendekat….
Aku ingat pesan lelaki tadi. Jangan tengok.
Tapi langkah itu berubah jadi suara napas berat. Dan kemudian… suara yg sangat familiar.
Reno ini Ibu. Kenapa anda pergi?
Nadanya seperti Ibu, tetapi terlalu datar.
Aku menggigit bibir, mempercepat langkah.
Reno lihat Ibu sebentar saja
Suara itu berubah. Serak. Dalam. Tidak manusiawi.
Aku berlari, tetapi langkah di belakangku terdengar seperti hentakan kaki raksasa.
Penunggu Puncak
Akhirnya saya hingga di sebuah lapangan keciltempat orang biasanya camping sebelum ke puncak. Tapi kali ini, bukan tenda yg kulihat.
Di tengah lapangan berdiri pohon tunggal, besar, & dari dahan-dahannya tergantung puluhan lonceng kecil.
Anginnya aneh. Setiap lonceng berdenting, tetapi tidak ada satu pun bergerak.
Dari balik pohon, makhluk itu muncul. Tingginya dua kali manusia dewasa. Tubuhnya seperti diselimuti kain kabut.
Wajahnya tak jelas, cuma dua cahaya merah di tempat mata semestinya. Dan setiap kali ia melangkah, tanah di bawahnya membeku.
“Penjaga baru” suaranya bergema seperti banyak mulut berbicara sekaligus.
“Tunjukkan nyalimu, atau hilang di kabut selamanya.”
Ujian Ketiga: Cahaya di Puncak
Peta di tanganku mulai bersinar terang. Titik ketiga berdenyut seperti jantung.
Aku tahu saya harus mengerjakan sesuatutapi apa?
Makhluk itu mengangkat tangannya, & dari kabutnya keluar sosok-sosok berwujud manusia… wajahnya adalah orang-orang yg kukenal. Teman sekolah, tetangga, bahkan Ayah. Tapi matanya kosong.
Ini bukan mereka bisik hatiku. Ini cuma ilusi.
Aku menutup mata, mengingat kata-kata Shinta di Danau Terbalik: “Kau punya cahaya.”
Ketika kubuka mata lagi, cahaya itu muncul di tangankukali ini bukan perisai, tetapi lentera kecil. Lentera itu menyala keemasan, menembus kabut, & setiap sosok ilusi yg terkena sinarnya hilang seperti asap.
Makhluk itu mundur, suaranya menggeram.
“Tiga jejak empat tersisa tetapi waktumu semakin sedikit.”
Seketika kabut tersapu angin, & saya berdiri di puncak Gunung Prau. Di kejauhan, langit mulai berubah warna. Sunrise.
Kembali ke Dunia Nyata
Aku menuruni gunung dalam keadaan setengah linglung.
Di kaki gunung, lelaki bertopi jerami itu menungguku. Dia menatapku lama, lalu berkata pelan, Kau lulus. Tapi mulai sekarang, kabut akan mencarimu sendiri. Hati-hati.
Aku harap bertanya banyak hal, tetapi dia sudah berjalan menjauh. Saat kuikuti dia hilang begitu saja, seperti larut dalam udara.
Ketika hingga di penginapan, Ayah menyambutku dengan paras cemas. Kamu dari mana? Tadi subuh anda nggak ada di kamar!
Aku cuma dapat menjawab, Lihat sunrise.
Tapi di dalam hati, saya tahuini lebih dari sekadar melihat mentari terbit.
Tanda Ketiga
Malamnya, saya membuka peta. Titik ketiga kini bersinar, & simbol di telapak tanganku bertambah satu garis melingkar.
Enam jejak sudah menunggu.
Dan di luar jendela, kabut mulai berkumpul lagi.
Bersambung ke Part 4: Pasar di Ujung Senja