Fenomena sound horeg belakangan ini jadi perbincangan yg tak kunjung reda. Meski sudah dilarang di banyak daerah karena dianggap mengganggu, budaya ini justru masih menjamur di berbagai pelosok Indonesia, khususnya daerah Jawa timur. Suara bising yg dihasilkan dari speaker berdaya sangat tinggi seakan jadi daya tarik tersendiri bagi beberapa masyarakat.
Saya sendiri sama sekali tidak menyukai budaya sound horeg ini. Jujur saja, saya heran kenapa masih banyak orang yg justru menikmati suara yang, maaf, begitu cumiakkan telinga. Di tengah maraknya kampanye pencerahan akan kesehatan & kebisingan, sound horeg terasa seperti antitesis kepada hal tersebut.
Bukan cuma soal bising.
Sound horeg secara ilmiah juga berisiko merusak kesehatan. Karena menurut WHO paparan kebisingan maksimal yg boleh diterima orang dewasa adalah 85 desibel selama 8 jam. Sedangkan sound horeg memiliki indeks kebisingan di 130 desibel, yg mana sangat berpotensi merusak kemampuan dengar. Tidak cuma berpotensi merusak indra pendengaran, bagi bayi, orang tua, & orang dengan gangguan jantung, sound horeg sangat membahayakan.
Yang jadi pertanyaan adalah:Mengapa budaya ini tetap digemari?
Menurut saya ada beberapa alasan yg mungkin.
Pertama, sound horeg sering dianggap sebagai simbol kemeriahan. Bagi beberapa orang, acara tidak dianggap suksesjika tidak disertai dengan suasana yg ramai & meriah, salah satunya dengan dentuman sound horeg. Kedua, hadirnya sound horeg juga dapat jadi ajang unjuk gengsi. Semakin akbar & keras suaranya, semakin dianggap wah bagi beberapa pihak. Ketiga, faktor ekonomi juga tak dapat diabaikan. Banyak penyedia jasa sound system melihat peluang dari tren ini, & permintaan yg terus tinggi menciptakannya sulit diberantas sepenuhnya.