Meninggalnya 56 suporter sepak bola di Guinea mirip tragedi Kanjuruhan
Jakarta (ANTARA) – Kejadian meninggalnya 56 suporter sepak bola di Stadion Nzerekore, Guinea, akibat kerusuhan yg pecah di tengah pertandingan berlangsung mirip dengan tragedi Stadion Kanjuruhan, Malang, yg menewaskan 135 orang pada 2022.
Menurut laporan Media Guinea, insiden terjadi di tengah pertandingan sepak bola yg diwarnai protes keras akibat keputusan kontroversial dari wasit.
Penonton melempari batu ke lapangan, sementara punggawa keamanan merespons dengan mengpakai gas air mata. Dalam keadaan kacau ini, banyak korban terinjak-injak saat mencoba melarikan diri melalui pintu-pintu keluar stadion.
Salah satu saksi mata, Cisse Lancine, mengungkapkan bagaimana ia berhasil menyelamatkan diri dengan memanjat dinding stadion, menghindari kerumunan yg berdesakan di pintu keluar.
“Pintu-pintu itulah tempat terjadinya desak-desakan. Saya selamat karena tidak bergegas menuju pintu keluar,” ujar Lancine kepada wartawan, dikutip dari AP.
Namun, tidak semua penonton seberuntung Lancine. Enock Loua, seorang warga Nzerekore, menerima kabar duka melalui telepon bahwa keponakannya, Aline Olivier, jadi salah satu korban tewas.
“Kami sulit menerima kenyataan ini, seolah-olah langit runtuh menimpa kami,” mengatakan Loua, menggambarkan kesedihan mendalam keluarganya.
Video dari letak kejadian menunjukkan ribuan penonton berlari panik, beberapa di antaranya melompat pagar tinggi stadion untuk menyelamatkan diri. Di rumah sakit setempat, para korban terluka terbaring di lantai sementara orang-orang berkerumun untuk menolong mereka yg cedera.
Media Guinea melaporkan bahwa beberapa korban jiwa adalah anak-anak, & sejumlah korban luka dalam kondisi kritis. Pemerintah setempat belum memastikan apakah jumlah korban tewas akan bertambah.
Perdana Menteri Guinea, Amadou Oury Bah, dalam pernyataan yg disiarkan televisi nasional, menyebut bahwa pihak berwenang sedang menyelidiki pihak-pihak yg bertanggung jawab atas insiden ini.
Sementara itu, Presiden Mamadi Doumbouya mengumumkan tiga hari masa berkabung nasional mulai Selasa (3/12). Doumbouya, yg sebelumnya menggulingkan Presiden Alpha Conde pada 2021, kini menghadapi kritik atas acara ini yg diduga memiliki motif politik.
Kelompok oposisi, National Alliance for Alternation and Democracy, menuduh turnamen tersebut diorganisasi untuk mendukung ambisi politik Doumbouya yg dianggap “ilegal & tidak tepat.”
Guinea adalah salah satu negara di Afrika Barat yg dikuasai militer, serupa dengan Mali, Niger, & Burkina Faso. Pemerintahan Doumbouya menuai kritik atas lambannya transisi menuju pemerintahan sipil, meskipun ia berdalih bahwa langkah-langkah yg diambil adalah untuk mencegah kekacauan.